Kamis, 23 Februari 2012

Teori Moral


PEMIKIRAN SOSIAL DAN TINDAKAN SOSIAL

Dari Hasil Eksperimen Milgram didapat konsistensi antara pertimbangan moral dengan perilaku. Berdasarkan data yang cukup besar jumlahnya yang menunjukkan adanya tingkatan konsisten yang tinggi (blasi, 1980), maka tidaklah dapat disimpulkan bahwa pertimbangan moral dan perilaku , pada umumnya tercermin sebagai proses yang tiada kaitannya. Tetapi berdasarkan fakta menunjukkan tingkat konsistensi  yang sedang-sedang saja tidak dapat disimpulkan bahwa pertimbangan moral  memiliki hubungan kausal terhadap perilaku.
Strategi penelitian mengestimasi hubungan antara pertimbangan moral dengan perilaku yang konsisten atau yang tidak konsisten saja bersifat terbatas. Keterbatasan itu terlukis  dalam eksperimen Milgram, bahwa setiap kondisi eksperimen dapat dipandang mencerminkan adanya hubungan yang konsisten maupun yang tidak konsisten antara pertimbangan moral dengan perilaku, tergantung dari hubungan mana yang diberikan tekanan perhatian.
Untuk memahami perilaku para subjek yang terus memberikan getaran listrik setiap kondisi eksperimen yang manapun, hendaknya diperhatikan kedua faktor yang saling bertautan (1) landasan bagi konsistensi antara perilaku dengan konsep keorganisasian (2) landasan bagi pola yang tidak konsisten antara perilakunya dengan pertimbangan moralnya.
Situasi perilaku yang sering digunakan termasuk situasi perilaku yang digunakan Hartshome dan May (Turiel,1978) yang bersifat multidimensional. Dalam eksperimen Milgram misalnya, pertautan antara ranah itu ditempatkan dalam pertautan-pertautan pertentangan. Analisis yang dilakukan hendaknya mencakup pertimbangan dalam ranah dari subjek yang bersangkutan mengenai masing-masing komponen maupun koordinasi dari ranah-ranah itu dalam konteks situasional tersebut.
Validitas pendekatan ini didukung oleh studi yang dilakukan Smetana (1981b, 1982) yang disinggung mengenai pengambilan keputusan tentang pengguguran kandungan.bahwa pengguguran kandungan suatu masalah yang multidimensional dan ambigu, tujuan penelitian ini ialah untuk mengidentifikasi orientasi seseorang mengenai ranah serta kriteria konseptualnya dalam masalah pengguguran kandungan itu. Tujuan lain dari penelitian ini ialah untuk menguji pertautan antara pertimbangan dengan perilaku.
Ada empat corakpandangan yang berbeda berkaitan dengan aspek-aspek moral dan nonmoral (batas kekuasaan pribadi): pandangan pertama menganggap masalah pengangguran kandungan sebagai masalah pilihan pribadi yang bersifat nonmoral. Pandangan kedua menyatakan bahwa masalah pengangguran kandungan itu lebih merupakan masalah hidup dan mati, Pandangan ketiga melihat adanya pertentangan antara pandangan yang menganggapnya sebagai masalah kebijakan moral dan yang tidak menganggapnya sebagai masalah kebijakan moral. Pandangan keempat menunjukkan adanya koordinasi antara aspek moral dengan aspek pribadi.
Para responden yang menyetujui bahwa masalah yang tidak termasuk masalah moral, secara konsisten menempatkan item-item mengenai aborsi itu dalam kategori pribadi sedangkan para  responden yang memandangnya sebagai masalah yang berkaitan dengan kehidupan manusia ataupun mereka yang menggabungkan kedua ranah itu lebih cenderung untuk menempatkan item pengguguran kandungan dalam kategori moral (salah, walaupun tidak ada peraturannya). Mereka yangb tergolong ke dalam kelompok yang dihinggapi pertentangan batin atau yang menggabungkan ranah pribadi dan ranah moral itu.

UU Tentang Transmigrasi


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1972
TENTANG
KETENTUAN KETENTUAN POKOK TRANSMIGRASI
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a.bahwa dengan adanya pertambahan jumlah penduduk dan penyebaran penduduk yang tidak seimbang, baik dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia maupun dengan potensi kekayaan alam Indonesia perlu diselenggarakan transmigrasi yang merupakan tanggung-jawab Nasional, sebagai salah satu jalan untuk suksesnya Pembangunan, Ketahanan dan Persatuan Nasional.
b.bahwa untuk menyelenggarakan transmigrasi diperlukan ketentuan-ketentuan pokok yang sesuai dengan jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam bentuk Undang-undang;
c.bahwa Undang-undang Nomor 29 Prp. Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Penyelenggaraan Transmigrasi, Undang-undang Nomor 5 Prps. Tahun 1965 tentang Gerakan Nasional Transmigrasi tidak sesuai lagi dengan perkembangan Pembangunan Nasional serta Regional dan oleh karena itu perlu segera dicabut.
Mengingat :
1.Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan ;
3.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No. XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan dalam bidang Pertahanan Keamanan;
4.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No.XXVIII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat;
5.Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104 ; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043).
6.Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23 ; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2832).
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
MEMUTUSKAN:
Mencabut : 1.Undang-undang Nomor 29 Prp. Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Penyelenggaraan Transmigrasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 86) jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 ;
2.Undang-undang Nomor 5 Prps. Tahun 1965 Tentang Gerakan Nasional Transmigrasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 33) jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969.
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK TRANSMIGRASI.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
a.Transmigrasi adalah pemindahan dan/atau kepindahan penduduk dari satu daerah untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan Pembangunan Negara atau atas alasan-alasan yang dipandang perlu oleh Pemerintah berdasarkan ketentuan- ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini :

b.Transmigran ialah setiap warga negara Republik Indonesia, yang secara sukarela dipindahkan atau pindah menurut pengertian sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a Pasal ini;

c.Daerah Transmigrasi adalah daerah yang ditetapkan untuk penempatan transmigran ;

d.Daerah Asal adalah daerah yang ditetapkan darimana calon transmigran dipindahkan atau berpindah ;

e.Proyek Transmigrasi adalah keseluruhan kegiatan penyelenggaraan transmigrasi.

f.Menteri ialah Menteri yang diserahi urusan penyelenggaraan transmigrasi. 

BAB II KEBIJAKSANAAN UMUM TRANSMIGRASI
Pasal 2
Sasaran kebijaksanaan umum transmigrasi ditujukan kepada terlaksananya transmigrasi Swakarsa (spontaan) yang teratur dalam jumlah yang sebesar-besarnya untuk mencapai :
a.peningkatan taraf hidup;
b.pembangunan daerah;
c.keseimbangan penyebaran penduduk;
d.pembangunan yang merata di seluruh Indonesia;
e.pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia;
f.kesatuan dan persatuan bangsa :
g.memperkuat pertahanan dan keamanan nasional.
Pasal 3
(1) Penyelenggaraan kebijaksanaan transmigrasi digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dengan mengingat segi-segi :
a.kemanusiaan;
b.keadilan;
c.kekeluargaan;
d.swadaya, swakarya dan swa-sembada masyarakat.
(2) Penyelenggaraan kebijaksanaan transmigrasi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB III ORGANISASI
Pasal 4
Susunan, tugas, wewenang dan tanggung-jawab organisasi penyelenggaraan transmigrasi ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 5
(1)Pelaksanaan transmigrasi oleh Instansi Pemerintah di luar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang ini, dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Menteri.
(2)Pelaksanaan transmigrasi di luar sebagaimana yang disebut pada ayat (1) Pasal ini harus memiliki surat ijin dari Menteri.
BAB IV PEMBIAYAAN
Pasal 6
(1)Biaya penyelenggaraan transmigrasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah pada dasarnya diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara :
(2)Pembiayaan penyelenggaraan transmigrasi disesuaikan dengan jenis-jenis transmigrasi.
BAB V HAK HAK DAN KEWAJIBAN TRANSMIGRAN
Pasal 7
Transmigran berhak mendapatkan tanah pekarangan dan/atau tanah pertanian dengan hak-hak atas tanah menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pasal 8
Hak-hak transmigran untuk mendapatkan bantuan, bimbingan dan pembinaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
Transmigran wajib mematuhi semua peraturan yang berlaku bagi penyelenggaraan transmigrasi.
BAB VI
DAERAH ASAL DAN DAERAH TRANSMIGRASI
Pasal 10
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Sosial, Ekonomi dan Pertahanan-Keamanan serta atas usul Menteri, Daerah yang dipandang perlu dipindahkan penduduknya, dapat ditetapkan sebagai Daerah Asal dengan Keputusan Presiden.
Pasal 11
(1)Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Sosial, Ekonomi dan Pertahanan-Keamanan, serta atas usul Menteri, Daerah yang dipandang perlu dan tepat untuk penempatan Transmigran, dapat ditetapkan sebagai Daerah Transmigrasi dengan Keputusan Presiden.
(2)Daerah Transmigrasi tersebut dalam ayat (1) Pasal ini harus dibebaskan dari segala hak-hak yang ada di atasnya, oleh Menteri yang diserahi urusan agraria dan selanjutnya memberikan hak pengelolaan atas tanah tersebut kepada Menteri.
(3)Akibat pembebasan hak atas tanah tersebut pada ayat (2) Pasal ini, kepada yang berhak dapat diberikan ganti-rugi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 12
(1)Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 5 tahun terhitung sejak tanggal penetapannya, daerah tersebut pada ayat (1) Pasal 11 Undang-undang ini harus sudah dibuka untuk penempatan transmigran atau keperluan lainnya yang berhubungan dengan penyelenggaraan transmigrasi.
(2)Apabila sesuatu Daerah Transmigrasi sampai dengan jangka waktu yang telah ditentukan pada ayat (1) Pasal ini tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, maka status Daerah Transmigrasi kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Pasal 13
Kepada penduduk setempat diberikan kesempatan untuk dengan sukarela berpisah ke Daerah Transmigrasi dan pada prinsipnya diperlakukan sebagai transmigran.
Pasal 14
Pembinaan dan pengembangan masyarakat Daerah Transmigrasi diselaraskan dengan Pola Pembangunan Masyarakat Desa :
a.Di bidang ekonomi dijuruskan ke arah tercapainya tingkatan swa-sembada berdasarkan azas-azas perkoperasian ;
b.Di bidang sosial budaya dijuruskan ke arah tercapainya asimilasi dan integrasi yang menyeluruh.
c.Di bidang mental spiritual dijuruskan ke arah pembinaan manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 15
(1)Dengan memperhatikan faktor-faktor sosial, ekonomi masyarakat *4484 Daerah Transmigrasi dan memperhatikan pula pertimbangan-pertimbangan Pemerintah Daerah Tingkat I yang bersangkutan, dalam jangka waktu 5 tahun terhitung sejak saat penempatan, Menteri menyerahkan pengurusan seluruh atau sebagian Proyek Transmigrasi kepada Menteri Dalam Negeri.
(2)Sejak penyerahan Proyek Transmigrasi tersebut ayat (1), Pasal ini status transmigran dan Proyek Transmigrasi hapus.
BAB VII KETENTUAN PIDANA
Pasal 16
Barang siapa melaksanakan transmigrasi tanpa ijin/persetujuan Menteri, dihukum :
1.dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-
2.dengan hukuman kurungan selama-lamanya 9 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 500.000,- apabila perbuatan tersebut juga tidak memenuhi ketentuan-ketentuan Pasal 7 dan 8 Undang-undang ini.
Pasal 17
Barang siapa memiliki atau atas dasar ijin/persetujuan untuk melaksanakan transmigrasi, dengan sengaja tidak memberikan tanah pekarangan atau tanah pertanian atau tidak memberikan bantuan atau bimbingan atau hak-hak lainnya menurut ketentuan-ketentuan Pasal 7 dan 8 Undang-undang ini, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 300.000,-
Pasal 18
Barang siapa dengan sengaja menghambat penyelenggaraan transmigrasi yang mengakibatkan kerugian-kerugian bagi pelaksana atau transmigran dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 300.000,-
Pasal 19
Barang siapa karena kekhilapannya menyebabkan tidak tenteram atau sengsaranya transmigran beserta keluarganya, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-
Pasal 20
Apabila tindak pidana tersebut dalam Pasal 16, 17, 18 dan 19 Undang-undang ini dilakukan oleh badan hukum, hukuman dijatuhkan kepada anggota pengurus.
Pasal 21
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini, dapat memuat sanksi pidana berupa hukuman kurungan selama-lamanya 1 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-
Pasal 22
Tindak pidana tersebut dalam Pasal 16, 17, 18, 19, 20 dan 21 adalah dianggap sebagai kejahatan.
BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Selama peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan pelaksanaan Undang-undang ini belum ditetapkan, maka peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini.
Pasal 24
Transmigrasi yang sedang dilaksanakan oleh instansi, lembaga swasta dan perorangan pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang ini yang selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
Persoalan-persoalan yang ada mengenai tanah dan ganti rugi pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, diselesaikan berdasarkan musyawarah dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Perundangan.
Pasal 27
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pokok Transmigrasi dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Juli 1972 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO JENDERAL T.N.I.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Juli 1972 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO S.H.
MAYOR JENDERAL T.N.I.

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1972
TENTANG
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK TRANSMIGRASI
I. PENJELASAN UMUM.
1.Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Merdeka dan berdaulat, terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil, mempunyai wilayah yang luas dan potensi alam yang besar. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia, menurut ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik spiritual maupun material. Dengan demikian Pemerintah dan rakyat Indonesia berkewajiban untuk membuka, menggali dan mengolah serta membina kekayaan alam tersebut guna tercapainya cita-cita Bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
2.Adalah suatu kenyataan, bahwa wilayah Negara Republik Indonesia yang sangat luas dan memiliki kekayaan alam yang besar itu, berpenduduk besar jumlahnya, akan tetapi tidak seimbang penyebarannya. Adalah suatu kenyataan pula, bahwa meningkatnya jumlah penduduk terutama di Jawa, Madura dan Bali, tidak seimbang dengan tersedianya lapangan kerja. Hal-hal tersebut diatas merupakan persoalan nasional yang mendesak yang perlu segera dicari jalan untuk mengatasinya.
3.Untuk mencapai keseimbangan yang rasionil dan effisien dalam usaha mengatasi persoalan nasional tersebut, salah satu jalan adalah transmigrasi sebagai sarana pembangunan yang penting baik ditinjau dari segi pengembangan proyek-proyek Pembangunan maupun Regional.
4.Pada hakekatnya transmigrasi menghadapi dua segi masalah:
a.Masalah penyebaran penduduk, yaitu untuk mencapai penyebaran penduduk yang lebih seimbang dan lebih merata di seluruh wilayah Indonesia. Pandangan ini membawa konsekwensi bahwa bagian yang padat penduduknya harus dapat dipindahkan ke pulau-pulau lain yang dewasa ini kekurangan penduduk.
b.Masalah pemenuhan tenaga kerja, maka transmigrasi merupakan pemindahan tenaga kerja untuk melaksanakan pembangunan berbagai proyek di daerah-daerah yang kekurangan tenaga kerja.
Dengan demikian maka tujuan utama bukanlah untuk mencapai penyebaran penduduk yang lebih seimbang dan merata melainkan untuk melaksanakan pembangunan proyek-proyek *4487 yang dipandang perlu untuk peningkatan produksi nasional (penjelasan lebih lanjut lihat penjelasan Pasal 2).
Dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan tersebut transmigrasi dikaitkan dengan usaha-usaha serta kegiatan pembangunan dan tidak berdiri sendiri. Dengan demikian usaha transmigrasi adalah untuk menunjang kegiatan pembangunan daerah dan proyek-proyek pembangunan yang memerlukan tenaga kerja.
Orientasi transmigrasi kepada Pembangunan Pertanian (Agro Development) sebagai bagian yang integral dari pembangunan daerah dimaksudkan dapat membentuk pusat-pusat pembangunan yang satu dengan lainnya saling bersambung sebagai wilayah-wilayah pembangunan, sehingga terjadi suatu pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang akan merupakan daya tarik terhadap transmigrasi swakarsa (spontan).
Dari segi peningkatan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) dan (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXVIII/MPRS/1966, maka transmigrasi merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan terutama di daerah-daerah yang padat penduduknya.
5.Usaha-usaha pemindahan penduduk secara berencana dan terorganisir dimulai pada kira-kira awal abad ke-XX semasa jaman penjajahan Belanda yang terkenal dengan kolonisasi, namun alasan dan cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan jiwa, cita-cita dan kepribadian bangsa Indonesia. Sejak Bangsa Indonesia Merdeka maka dirasa perlunya pemindahan penduduk secara besar-besaran dan terarah. Dalam pada itu telah ditetapkan peraturan perundangan transmigrasi sebagai berikut:
a.Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1958 tentang Pokok-pokok Penyelenggaraan Transmigrasi; b.Undang-undang Nomor 29 Prp. Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Penyelenggaraan Transmigrasi; c.Undang-undang Nomor 5 Prps. Tahun 1965 tentang Gerakan Nasional Transmigrasi.
Adapun peraturan perundangan tersebut tidak lagi sesuai dengan kebijaksanaan yang digariskan oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia dalam Ketetapannya Tahun 1966 dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan Pembangunan Nasional dan Regional. Maka perlu diganti dengan suatu Undang-undang Transmigrasi yang baru.
6.Kebijaksanaan penyelenggaraan transmigrasi menurut Undang-undang ini didasarkan atas pertimbangan- pertimbangan sebagai berikut:
a.Dalam hubungannya dengan Pembangunan Negara fungsi transmigrasi adalah sarana pembangunan yang penting baik ditinjau dari segi-segi pengembangan proyek-proyek Pembangunan Nasional maupun Regional. *4488 Dalam hal ini, transmigrasi berarti penyebaran dan penyediaan tenaga-kerja serta ketrampilan baik untuk perluasan produksi di daerah-daerah maupun pembukaan lapangan kerja baru.
b.Dalam hubungannya dengan pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, sesuai Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 transmigrasi merupakan salah satu sarana dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan dan membina kesatuan dan persatuan bangsa. Dengan demikian akan terwujudlah Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yakni: SATU TANAH AIR, SATU BANGSA DAN SATU BAHASA DI INDONESIA.
c.Dalam hubungannya dengan HANKAM sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXIV/MPRS/1966 Pasal 3 ayat (6) yang berbunyi: "Seluruh Rakyat atas dasar kewajiban dan kehormatan, sesuai kemampuan individu-individunya harus diikutsertakan dalam segala usaha Pertahanan-keamanan disamping dan bersama A.B.R.I. sesuai dengan Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945". Maka transmigrasi berarti memenuhi salah satu syarat doktrin HANKAMNAS, doktrin WAMHANRA dan HANSIP serta doktrin PERATA, yaitu dengan terdapatnya pusat-pusat perlawanan di seluruh wilayah Indonesia yang masing-masing ber-swa-sembada dan saling membantu, serta pengisian daerah-daerah kosong yang penting artinya bagi pertahanan rakyat semesta.
7. Pelaksanaan kebijaksanaan penyelenggaraan transmigrasi:
a.Karena transmigrasi merupakan masalah nasional maka Pemerintah memegang peranan penting dalam penyelenggaraan transmigrasi.
b.Dalam penyelenggaraan transmigrasi perlu ditetapkan prioritas-prioritas daerah yang penduduknya perlu dipindahkan. Daerah tersebut yang mendapatkan prioritas ini ditetapkan sebagai Daerah Asal Transmigrasi.
c.Untuk penyelenggaraan transmigrasi perlu ditetapkan Daerah Transmigrasi. Dalam menetapkan Daerah Transmigrasi perlu diperhatikan hak-hak atas tanah beserta benda-benda diatasnya dari masyarakat hukum atau perseorangan di daerah tersebut. Untuk keperluan penempatan transmigran, Daerah Transmigrasi harus sudah dibebaskan dari hak-hak atas tanah dan benda-benda diatasnya, sehingga tanah itu beserta benda-benda/tanam-tanaman yang ada diatasnya berada sepenuhnya dalam penguasaan Negara, yang selanjutnya oleh Menteri yang diserahi urusan Agraria tanah tersebut diserahkan kepada Menteri dengan hak pengelolaan. Pembebasan daerah dari hak-hak tersebut ditempuh dengan mengutamakan cara-cara yang sesuai dengan kebiasaan setempat. *4489 Masyarakat setempat dapat ikut serta menikmati manfaat dari adanya Proyek Transmigrasi misalnya di dalam menggunakan prasarana untuk kepentingan umum (irigasi, gedung sekolah, gedung ibadat, balai desa, poliklinik dan lain-lain). Sedangkan bagi mereka yang berkehendak untuk bertempat tinggal di dalam daerah Transmigrasi, mendapatkan hak atas tanah seperti termaksud dalam Pasal 7 dan hak menggunakan fasilitas-fasilitas umum dan bagi yang bersangkutan kedudukannya adalah sebagai transmigran sehingga diwajibkan mematuhi ketentuan-ketentuan bagi transmigrasi

Macam - Macam Putusan


Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
Putusan Akhir (Eindvonnis)
adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan
pemeriksaan. Juga merupakan putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu.

Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu :

a. putusan gugur
b. putusan verstek yang tidak diajukan verzet
c. putusan tidak menerima
d. putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa

Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang-undang menentukan lain.
Putusan akhir menurut sifat amarnya (dictumnya), dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :
a. Putusan Declaratoir
Adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini bersifat hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.
- semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan declaratoir dalam bentuk penetapan atau besciking
- putusan declaratoir biasanya berbunyi menyatakan
- putusan declaratoir tidak memerlukan eksekusi
- putusan declaratoir tidak merubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada

b. Putusan Constitutief
Adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum baru. Keadaan hukum baru tersebut dapat berupa meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Putusan ini bersifat menciptakan.
- Putusan Constitutief selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain
- Putusan
Constitutief tidak memerlukan eksekusi
- Putusan
Constitutief diterangkan dalam bentuk putusan
- Putusan
Constitutief biasanya berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain bersifat aktif dan bertalian langsug dengan pokok perkara, misalnya memutuskan perkawinan, dan sebagainya
- Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan huum tetap
c. Putusan Condemnatoir
Adalah putusan yang bersifat menghukum para pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.
Dalam praktek sehari-hari dalam suatu putusan akhir terdapat beberapa jenis sifat putusan, seperti gabungan antara putusan yang bersifat declaratoir dan condemnatoir atau antara putusan yang bersifat declaratoir dan consitutif dan sebagainya.
- Putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius
- Putusab kondemnatoir sekaku berbunyi “menghukum” dan memerlukan eksekusi
- Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela, maka atas permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang memutusnya
- Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta)
- Putusan kondemnatoir dapat berupa pengukuman untuk

1. menyerahkan suatu barang
2. membayar sejumlah uang
3. melakukan suatu perbuatan tertentu
4. menghentikan suatu perbuatan/keadaan
5. mengosongkan tanah/rumah


Putusan Bukan Akhir (Putusan Sela)
Merupakan putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Semua putusan sela diucapakan dalam sidang dan merupakan bagian dari berita acara persidangan. Terhadap salinan otentik dari putusan sela tersebut kedua belah pihak dapat memperolehnya dari berita acara yang memuat putusan sela tersebut.
Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam putusan sela yaitu :
a. Putusan Preparatoir.
Adalah putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan guna melancarkan proses persidangan hingga tercapai putusan akhir.
b. Putusan Interlocutoir.
Adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, isi putusan ini mempengaruhi putusan akhir
c. Putusan Incidentieel
Adalah putusan yang berhubungan dengan insiden, yitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa. Putusan ini belum berhubungan dengan pokok perkara, masih bersifat formil belum menyangkut materil suatu perkara.
d. Putusan Provisionieel
Adalah putusan yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara supaya diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.