Pada mulanya, Indonesia-sentris dirumuskan sebagai sejarah kerajaan dan kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Definisi ini sangat kuat dipengaruhi tulisan-tulisan Muh Yamin seperti 6000 Tahun Sang Saka Merah Putih dan Gadjah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara yang lebih banyak berisi romantisme dan apologia daripada fakta-fakta sejarah. Definisi itu segera menuai banyak kritik setelah muncul sarjana-sarjana sejarah yang terdidik secara akademik di berbagai perguruan tinggi.
Namun sayang,
perubahan yang terjadi pada materi pelajaran sejarah malah bergeser ke arah
yang lebih tidak menguntungkan. Di bawah supervisi Nugroho Notosusanto dan
sejarawan Orde Baru lainnya, pengajaran sejarah dibawa ke wilayah yang
lebih mengerikan, yaitu melegitimasi Orde Baru dan digunakan untuk
menyingkirkan musuh-musuh mereka yang disebut Eka (ekstrim kanan) dan Eki
(ekstrim kiri). “Eka” adalah kelompok Islam yang kritis terhadap Orde Baru yang
direpresentasikan oleh eks. Masyumi, sementara “Eki” adalah eks. PKI (Partai
Komunis Indonesia) dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Darmiasti menengarai
bahwa sampai tahun 1984, buku-buku sejarah yang lahir tidak lepas dari
kepentingan politik penguasa saat itu. Sejarah diajarkan di sekolah-sekolah
justru untuk melanggengkan kekuasaan (baca: Orde Baru), bukan digunakan secara
serius untuk memperkokoh fondasi kebangsaan. Gejala seperti itu terus-menerus
ditemukan sampai dirumuskan kurikulum tahun 1994 seperti yang dibuktikan oleh
Umasih (Tesis Dept. Sejarah UI, 2000).
Alih-alih
pengajaran sejarah diharapkan mampu memperkokoh persatuan bangsa, namun pada
kenyataannya justru menciptakan permusuhan terhadap Negara dari kedua
kelompok yang dianggap “musuh” tersebut. Pada saat yang sama, ideologi negara
tiba-tiba semakin dalam bergeser ke arah sekularisme. Akibatnya, Islam yang
menjadi anutan mayoritas warga negara, dianggap tidak memiliki pengaruh sama
sekali dalam sejarah Indonesia. Lebih ekstrim lagi, Islam secara halus
dicitrakan sebagai ideologi yang mengancam persatuan dan kesatuan Republik ini
. Kesan seperti itu tetap bercokol sampai Era Reformasi bergulir
Sudah puluhan
tahun lamanya, sejak tahun 1964, tidak ada wacana alternatif dalam
pengajaran dan penulisan buku-buku sejarah di negeri ini. Semua hanya berani
mengulang-ulang lagu lama, bahwa sejarah Hindu-Budha telah mempersatukan
wilayah negeri ini dan kemerdekaan Indonesia dicapai atas prakarsa kaum
nasionalis-sekuler. Tidak ada tempat bagi Islam tapi justru sekularisme menjadi
ideologi dominan di dalamnya.
***
***
Permusuhan
terhadap Belanda yang berlebihan dalam pendekatan Indonesia-sentris akhirnya
menjadi buah simalakama, terutama ketika harus menceritakan sejarah Kristen di
Indonesia yang memang dibiayai dan dibawa oleh penjajah Barat sejak jaman
Portugis dan Belanda. Dengan mengatas-namakan nasionalisme dan pluralisme,
sejarah Kristen yang dalam pandangan Indonesia-sentris dianggap bagian dari
sejarah kelam, dengan sengaja tidak pernah tercantum dalam berbagai buku
pelajaran sejarah. Padahal bila ditilik, agama ini merupakan agama kedua
terbanyak setelah Islam. Mengapa sejarah agama Hindu, Budha dan Islam di negeri
ini dikisahkan dalam buku teks pelajaran sejarah tetapi tidak demikian dengan
sejarah Kristen? Tema inilah yang secara meyakinkan dimasukkan sebagai
bagian dari buku ini.
Hal lain yang
juga ingin diluruskan dengan penulisan buku ini adalah upaya pengaburan
fakta dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang digerakkan oleh
tokoh-tokoh Islam, terutama tokoh-tokoh pesantren yang berdiri di belakang para
pemimpin pergerakan anti-kolonial saat itu; dikuburnya peran tokoh-tokoh yang
tergabung dalam ormas-ormas dan orpol Islam dalam proses pembentukan dan
kemerdekaan Indonesia; serta diabaikannya fakta tentang pertarungan ideologi
dalam pembentukan Indonesia, termasuk di dalamnya bagaimana tarik-menarik
antara Islam dan sekularisme.
***
***
Buku dengan
judul Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru, rencananya akan
ditulis sampai Era Reformasi. Saat ini, telah
diterbitkan dua jilid buku teks pelajaran sejarah yang membahas asal-usul
bangsa Indonesia sampai berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia.
Jilid ketiga yang memuat persoalan krusial dan kontroversial, seperti
diantaranya Piagam Jakarta, Proklamasi, Konstituante, DI/TII, PRRI, Orde Baru
dan Islam, ditargetkan selesai dalam satu tahun ke depan, sehingga
perspektif baru yang disajikan dalam buku tersebut dapat dipahami
secara menyeluruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar