BAB
I
PENDAHULUAN
Pendidikan
jasmani memerlukan olahraga sebagai upaya untuk menjalankan fungsi serta
mencapai tujuannya. Terdapat mata rantai antara pendidikan jasmani dan olahraga
yaitu olahraga – ilmu olahraga – pendidikan jasmani. Mata rantai tersebut dapat
diartikan bhwa di dalam kegiatan olahraga terkandung ilmu olahraga. Olahraga
harus memenuhi tiga kriteria sebagai ilmu mandiri yaitu obyek, metode, dan
pengorganisasian yang khas. Agar lebih terarah dan berfungsi, ilmu olahraga
disampaikan melalui pendidikan jasmani. Pendidikan jasmani menurut konsep
pedagogistik adalah mata pelajaran yang berfungsi mendidik atau membentuk
individu melalui gerak jasmani. Cara pandang masyarakat terhadap pendidikan
jasmani berbeda – beda. Sebagian masyarakat menganggap pendidikan jasmani tidak
terlalu penting, hanya sebagai pelengkap kurikulum pembelajaran. Sebagian lain
menilai pendidikan jasmani penting untuk perkembangan jasmani dan jiwa. Adanya
pandangan bahwa pendidikan jasmani tidak begitu penting karena terjadi krisis
identitas dalam pendidikan jasmani. Pihak – pihak yang berkecimpung di dalam
olahraga belum meneliti keampuhan pendidikan jasmani. Walaupun mereka sudah
lama memiliki pernyataan bahwa pendidikan jasmani mampu menjadi alat ampuh
dalam membangun karakter bangsa, moral, disiplin, dan nilai positif lainnya.
Fenomena seputar pendidikan jasmani dan olahraga tersebut memerlukan filsafat
untuk mencari solusi dan mengembangkannya.
Pendidikan
Jasmani Olahraga dan Kesehatan adalah merupakan bagian integral dari pendidikan
keseluruhan yang bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani,
ketrampilan gerak, ketrampilan berpikir kritis, ketrampilan sosial, penalaran,
stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan
lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olah raga dan kesehatan terpilih
yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
nasional (Wawan Sutrisna, 2008: 1).
Bahkan menurut Khomsin (2000: 1) Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan selain menjadi bagian integral dari proses pendidikan secara keseluruhan, mata pelajaran ini juga mempunyai peran unik dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya. Karena selain dapat digunakan untuk pengembangan aspek fisik dan psikomotor, juga ikut berperan dalam pengembangan aspek kognitif dan afektif secara serasi dan seimbang
Bahkan menurut Khomsin (2000: 1) Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan selain menjadi bagian integral dari proses pendidikan secara keseluruhan, mata pelajaran ini juga mempunyai peran unik dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya. Karena selain dapat digunakan untuk pengembangan aspek fisik dan psikomotor, juga ikut berperan dalam pengembangan aspek kognitif dan afektif secara serasi dan seimbang
BAB
II
PEMBAHASAN
Definisi tentang
pendidikan jasmani pernah dirumuskan sebagai rujukan nasional ( Mendikbud 413
/ U / 1957 ) mengungkapkan fungsi pendidikan jasmani untuk memberikan sumbangan
terhadap pendidikan secara menyeluruh: “Pendidikan jasmani adalah bagian
integral daripada pendidikan melalui aktifitas jasmani yang bertujuan untuk
meningkatkan individu secara organik, neuromuskkular, intelektual, dan emosional”.
(Rusli Lutan, 2001: 65
Fenomena yang
paling konkret sebagai objek formal ilmu keolahragaan adalah gerak – laku
manusia dalam bentuk gerak insani, terutama keterampilan gerak yang dapat
dikuasai melalui proses belajar. Gerak insani yang juga mencerminkan puncak
kreatifitas manusia itu, dilakukan secara sadar dan bertujuan. Manusia
menggerakkan dirinya secara sadar melalui pengalaman badaniah sebagai medium
untuk berinteraksi dengan lingkungannya dan untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam konteks pendidikan, khususnya pendidikan jasmani, gerak insani inilah
yang menjadi medan pergaulan yang bersifat mendidik antara peserta didik
sebagai aktor, atau pelaku, dan pendidik sebagai auctor, atau pengarah,
sekaligus fasilitator, meminjam istilah yang diperkenalkan oleh Prof. Klaas
Rijsdorp (1973).
Realisasi keterampilan gerak itu tidak dapat dicabik dan dipisahkan dari tata latar lingkungannya, sehingga keterampilan gerak itu terbentuk dalam aneka bentuk respons dan transaksi antara individu dan lingkungan sosial – budaya yang membentuk penghayatan penuh makna diantara kedua pihak. Gerak insani yang menjadi objek formal ilmu keolahragaan merupakan fenomena yang kompleks, mencakup dimensi sosio – psiko – bio – kultural sebagai akibat aneka aktifitas jasmani yang diperagakan individu atau dalam suasana berkelompok itu digelar di tengah kehidupan bermasyarakat, dalam sistem kehidupan yang nyata, yang terkontrol oleh tradisi, nilai dan norma, disamping terikat langsung oleh keterbatasan kapasitas kemampuan biologik itu sendiri.
Pengungkapan gerak insani itu merupakan perilaku gerak manusia yang universal, tanpa memandang latar belakang agama, budaya, suku bangsa, atau ras. Namun dalam pelaksanaanya, kegiatan yang berintikan gerak keterampilan jasmaniah dan berporos pada sifat – sifat permainan itu, tetap bertumpu pada etika dan kesadaran moral , karena olahraga bukanlah ungkapan naluri yang rendah atau nafsu kekerasan, tetapi merupakan ekspresi sifat – sifat manusia yang kreatif dan indah yang kemudian bermuara pada kehidupan yang manusiawi dalam pengertian sejahtera paripurna, bukan sehat jasmaniah semata, tetapi melingkup kesehatan aspek mental, emosional, sosial, dan spiritual. Dengan demikian, jelaslah bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai dalam pembinaan pendidikan jasmani dan olahraga adalah tercapainya kesejahteraan paripurna manusia.
Aspek etika dalam pendidikan jasmani dan olahragaadalah fair play. Fair play adalah kebesaran hati terhadap lawan yang menimbulkan perhubungan kemanusiaan yang akrab dan harmonis. Fair play merupakan sikap mental yang menunjukkan martabat ksatria dalam olahraga. Sehingga memunculkan sikap ksatria pada atlet yang menolak kemenangan dengan menghalalkan segala cara. Maka ada mekanisme psikologis yang mengontrol terhadap kepatutan suatu perbuatan dan kesanggupan untuk memajukan diri agar patuh pada standar moral yang tinggi. Bisa diartikan bahwa pencapaian kemenangan sebagai konsekuensi dari berusaha keras. Bukan dari nasib atau faktor keberuntungan. Fair play memang mudah diucapkan, tetapi cukup sukar dipraktekkan, bukan saja dalam olahraga tetapi juga dalam semua bentuk kegiatan dalam kehidupan sehari – hari. Fair play merupakan budaya dalam dunia pendidikan jasmani dan olahraga yang mulai luntur. Meskipun demikian, fair play masih bisa dididik dan dibiasakan.
Setiap atlet harus ditanamkan jiwa fair play sejak dini. Agar atlet termotivasi untuk meraih kemenangan yang sebenarnya. Meraih kemenangan bukan hanya terbatas pada keberhasilan mengalahkan lawan atau meraih gelar juara. Tetapi, berhasil mengalahkan lawan melalui proses yang sesuai peraturan dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Apabila atlet terbiasa bertanding secara fair play, maka kebiasaan mentaati peraturan dan menghargai orang lain akan terealisikan dalam kehidupan sehari – hari. Harus disadari bahwa pendidikan jasmani dan olahraga tidak hanya mengolah keterampilan jasmani, namun juga disertai sopan santun dan nilai moral dalam pelaksanaanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan jasmani memberikan kontribusi dalam penanaman moral serta membentuk karakter pelakunya. Persoalannya adalah bagaimana menerapkan nilai moral dan prinsip sehingga menjadi landasan sportif ?
Maksud baik adalah bermain dengan memperlihatkan sportifitas dan maksud jahat adalah bermain dengan tipu muslihat. Tindakan nyata itu ditujukan pada pencapaian tujuan permainan berupa peragaan performa sebaik – baiknya, sedangkan tindakan jahat berupa perbuatan curang, melukai lawan, menciderai pemain andalan lawan, dan lain – lain. Karena itu, tindakan nyata, baik yang ideal maupun yang diperagakan sebenarnya, dipengaruhi oleh motif dan maksud berbuat yang semuanya itu berpangkal pada persepsi. Persepsi tabu kalah dalam bertanding dapat mendorong atlet untuk melakukan apa saja agar meraih kemenangan. Atlet seharusnya menyadari bahwa kalah bukan berarti pecundang apabila dalam bertanding ia berusaha maksimal tanpa melakukan kecurangan.
Dalam proses penalaran moral, nilai biasanya ditulis secara khusus yang disebut prinsip. Prinsip merupakan tuntunan yang bersifat universal yang akan mengatakan apa tindakan, maksud, dan motif yang dilarang, diizinkan, atau yang menjadi kewajiban. Prinsip adalah pernyataan tertulis yang bersifat umum, atau aturan utama. Tak ada aturan yang lebih penting daripada prinsip. Prinsip adalah aturan yang paling tinggi. Karena sifatnya yang universal dapat ditarik aturan dari padanya.
Dengan menempatkan sistem nilai ke dalam bentuk yang universal maka dapat digunakan sistem nilai itu sebagai rujukan yang paling teguh untuk mengatasi masalah yang rumit untuk dipecahkan. Nilai moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi, tugas, dan lain – lain. Bagaimanakah kita dapat memilih nilai moral yang cukup banyak jumlahnya itu? tugas ini tidak mudah. Namun demikian, ada sumber yang paling sahih untuk memilih nilai moral itu, yaitu agama – agama besar, seperti Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan kepercayaan lainnya. Ajarannya mengandung nilai inti yang bersifat universal dan dijunjung tinggi oleh pemeluknya. Dalam keanekaragaman nilai itu, maka dapat diperoleh sari patinya. Ada empat nilai moral yang menjadi inti dan bersifat universal sebagai berikut.
Nilai moral pertama adalah keadilan. Di seluruh dunia, keadilan selalu dikumandangkan dan dicari setiap orang, meskipun tak kunjung dicapai. Keadilan itu ada dalam beberapa bentuk: distribuif, prosedural, retributif, dan kompensasi. Keadilan distributif berarti keadilan yang mencakup pembagian keuntungan dan beban secara relatif, dikaitkan dengan hasilnya. Keadilan prosedural mencakup persepsi terhadap prosedur yang dinilai sportif atau fair dalam menentukan hasil. Keadilan retributif mencakup yang fair sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan bagi pelanggar hukum. Keadilan kompensasi mencakup persepsi mengenai kebaikan atau keuntungan yang diperoleh penderita atau yang diderita pada waktu sebelumnya. Keempat bentuk keadilan itu melekat pada pembuatan keputusan dan penalaran moral dalam dunia olah raga.
Nilai moral kedua adalah kejujuran. Kejujuran dan kebajikan selalu terkait dengan kesan terpercaya, dan terpercaya terkait dengan kesan tidak berdusta, menipu, atau memperdaya. Hal ini terwujud dalam tindakan dan perkataan.
Nilai moral ketiga adalah tamggung jawab. Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab ini adalah pertanggungan perbuatan sendiri.
Nilai moral keempat adalah kedamaian. Kedamaian mengandung pengertian tidak akan menganiaya, mencegah penganiayaan, menghilangkan penganiayaan, dan berbuat baik.
Tindakan kekerasan masih membayangi pertandingan olahraga. Bahkan makin meningkat, bukan bertambah surut. Perkelahian antara ofisial dengan pemain, pemain dengan pemain, atau penonton mengeroyok wasit, dan aneka kekerasan, terutama dalam sepak bola makin marak terjadi. Bahkan penonton dengan bangga memperlihatkan perilaku kasar yang sering disebut dalam istilah “holigan” alias kebrutalan. Perilaku agresif ini jelas – jelas melanggar batas dan sangat tidak sportif. Perilaku semacam ini dikhawatirkan juga terjadi dan menular di bidang kegiatan lainnya di mana orang tidak mampu menerima kenyataan dan selalu ingin berada di pihak yang lebih untung, meskipun harus berbuat curang yang tidak terlihat di depan orang.
Memotivasi atlet untuk meraih prestasi bukan dengan menanamkan prinsip tabu kalah. Lebih baik menanamkan keempat nilai moral tersebut. Apabila hal ini dilakukan yang terjadi tidak hanya sportifitas pertandingan, tetapi juga membentuk atlet yang yang berkualitas secara fisik dan psikis. Berkualitas secara fisik maksudnya untuk mengejar prestasi tanpa melakukan kecurangan atlet akan terdorong untuk giat berlatih dan menjaga kesehatan. Sehingga kemampuan fisik meningkat dan kebugaran fisik terjaga. Berkualitas secara psikis maksudnya tanpa melakukan kecurangan, secara bertahap mental semangat bertanding dan rasa percaya diri atlet akan terbentuk. Perilaku kasar penonton sebenarnya merupakan dampak melihat kebiasaan para atlet bermain tidak secara fair play. Apabila semua atlet bertanding secara fair play, kemungkinan besar dapat meminimalisir tindak kekerasan penonton.
Perilaku fair play tidak terbatas pada moral tingkah klaku ketika bertanding. Persiapan dan proses untuk mengikuti pertandinga ternyata tetap memerlukan fair play agar etika dan sportifitas dalam olah raga tetap terjaga. Salah satu perilaku fair play dalam mempersiapkan atlet mengikuti pertandingan adalah tidak mengkonsumsi obat terlarang atau substan lainnya secar ilegal untuk meningkatkan prestasi atlet. Doping dilarang karena berpengaruh buruk pada kesehatan, psikis, dan mencemari nilai pendidikan dalam olahraga. Dampak penggunaan doping jelas merugikan kesehatan karena organ atlet dipaksa bekerja di atas batas normal. Walaupun di awal penggunaan doping berkesan menguntungkan, mampu meningkatkan tenaga dan agresifitas atlet. Namun, pada akhirnya doping perlahan – lahan membunuh atlet. Penggunaan doping juga mengakibatkan krisis percaya diri pada atlet. Atlet merasa dirinya kurang bersemangat tanpa mengkonsumsi doping. Konsumen doping cenderung memiliki sifat pemarah akibat efek agresifitas yang ditimbulkan. Nilai pendidikan pun hilang karena doping. Sebab, masyarakat akan berpikir bahwa olahraga hanya mengandalkan jasmani dan tenaga saja tanpa menggunakan akal pikiran serta etika dalam pelaksanaanya. Penggunaan doping menyalahi etika dalam pendidikan jasmani dan olahraga. Alasannya karena atlet tidak diperlakukan secara manusiawi, atlet diperlakukan seperti mesin. Atlet adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan dan harus dihargai. Tidak terelakkan apabila tujuan mengikuti pertandingan adalah meraih juara, tetapi ada yang lebih penting yaitu memenangkan pertandingan karena murni kemampuan atlet. Tujuan pendidikan jasmani dan olahraga untuk menghasilkan jiwa dan tubuh yang sehat pun hilang karena tindakan tidak fair play. Tujuan tersebut berubah menjadi alat untuk meraih materi dan status sosial semata.
Fenomena yang terkait dengan pendidikan jasmani dan olahraga tersebut menguatkan pernyataan bahwa pendididkan jasmani dan olahraga tidak hanya mengolah keterampilan jasmani. Namun disertai makna kesopanan dan moral di dalamnya. Pendidikan jasmani dan olahraga sangat penting diberikan pada semua jenjang pendidikan. Banyaknya nilai positif dalam pendidikan jasmani dan olahraga serta kontribusinya dalam kehidupan seharusnya bisa menghindarkan terjadinya krisis identitas. Namun, pada kenyataannya sebagian besar masyarakat masih berpandangan pendidikan jasmani dan olahraga tidaklah penting. Krisis identitas terjadi setidaknya karena ada dua konsep salah dalam pendidikan jasmani (Crum, 2003). Pertama, pendidikan jasmani dikonsepsikan secara biologistik (pelatihan-dari-jasmani). Dalam konsep ini, pendidikan jasmani merupakan mata pelajaran untuk melatih “organisme”.
Realisasi keterampilan gerak itu tidak dapat dicabik dan dipisahkan dari tata latar lingkungannya, sehingga keterampilan gerak itu terbentuk dalam aneka bentuk respons dan transaksi antara individu dan lingkungan sosial – budaya yang membentuk penghayatan penuh makna diantara kedua pihak. Gerak insani yang menjadi objek formal ilmu keolahragaan merupakan fenomena yang kompleks, mencakup dimensi sosio – psiko – bio – kultural sebagai akibat aneka aktifitas jasmani yang diperagakan individu atau dalam suasana berkelompok itu digelar di tengah kehidupan bermasyarakat, dalam sistem kehidupan yang nyata, yang terkontrol oleh tradisi, nilai dan norma, disamping terikat langsung oleh keterbatasan kapasitas kemampuan biologik itu sendiri.
Pengungkapan gerak insani itu merupakan perilaku gerak manusia yang universal, tanpa memandang latar belakang agama, budaya, suku bangsa, atau ras. Namun dalam pelaksanaanya, kegiatan yang berintikan gerak keterampilan jasmaniah dan berporos pada sifat – sifat permainan itu, tetap bertumpu pada etika dan kesadaran moral , karena olahraga bukanlah ungkapan naluri yang rendah atau nafsu kekerasan, tetapi merupakan ekspresi sifat – sifat manusia yang kreatif dan indah yang kemudian bermuara pada kehidupan yang manusiawi dalam pengertian sejahtera paripurna, bukan sehat jasmaniah semata, tetapi melingkup kesehatan aspek mental, emosional, sosial, dan spiritual. Dengan demikian, jelaslah bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai dalam pembinaan pendidikan jasmani dan olahraga adalah tercapainya kesejahteraan paripurna manusia.
Aspek etika dalam pendidikan jasmani dan olahragaadalah fair play. Fair play adalah kebesaran hati terhadap lawan yang menimbulkan perhubungan kemanusiaan yang akrab dan harmonis. Fair play merupakan sikap mental yang menunjukkan martabat ksatria dalam olahraga. Sehingga memunculkan sikap ksatria pada atlet yang menolak kemenangan dengan menghalalkan segala cara. Maka ada mekanisme psikologis yang mengontrol terhadap kepatutan suatu perbuatan dan kesanggupan untuk memajukan diri agar patuh pada standar moral yang tinggi. Bisa diartikan bahwa pencapaian kemenangan sebagai konsekuensi dari berusaha keras. Bukan dari nasib atau faktor keberuntungan. Fair play memang mudah diucapkan, tetapi cukup sukar dipraktekkan, bukan saja dalam olahraga tetapi juga dalam semua bentuk kegiatan dalam kehidupan sehari – hari. Fair play merupakan budaya dalam dunia pendidikan jasmani dan olahraga yang mulai luntur. Meskipun demikian, fair play masih bisa dididik dan dibiasakan.
Setiap atlet harus ditanamkan jiwa fair play sejak dini. Agar atlet termotivasi untuk meraih kemenangan yang sebenarnya. Meraih kemenangan bukan hanya terbatas pada keberhasilan mengalahkan lawan atau meraih gelar juara. Tetapi, berhasil mengalahkan lawan melalui proses yang sesuai peraturan dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Apabila atlet terbiasa bertanding secara fair play, maka kebiasaan mentaati peraturan dan menghargai orang lain akan terealisikan dalam kehidupan sehari – hari. Harus disadari bahwa pendidikan jasmani dan olahraga tidak hanya mengolah keterampilan jasmani, namun juga disertai sopan santun dan nilai moral dalam pelaksanaanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan jasmani memberikan kontribusi dalam penanaman moral serta membentuk karakter pelakunya. Persoalannya adalah bagaimana menerapkan nilai moral dan prinsip sehingga menjadi landasan sportif ?
Maksud baik adalah bermain dengan memperlihatkan sportifitas dan maksud jahat adalah bermain dengan tipu muslihat. Tindakan nyata itu ditujukan pada pencapaian tujuan permainan berupa peragaan performa sebaik – baiknya, sedangkan tindakan jahat berupa perbuatan curang, melukai lawan, menciderai pemain andalan lawan, dan lain – lain. Karena itu, tindakan nyata, baik yang ideal maupun yang diperagakan sebenarnya, dipengaruhi oleh motif dan maksud berbuat yang semuanya itu berpangkal pada persepsi. Persepsi tabu kalah dalam bertanding dapat mendorong atlet untuk melakukan apa saja agar meraih kemenangan. Atlet seharusnya menyadari bahwa kalah bukan berarti pecundang apabila dalam bertanding ia berusaha maksimal tanpa melakukan kecurangan.
Dalam proses penalaran moral, nilai biasanya ditulis secara khusus yang disebut prinsip. Prinsip merupakan tuntunan yang bersifat universal yang akan mengatakan apa tindakan, maksud, dan motif yang dilarang, diizinkan, atau yang menjadi kewajiban. Prinsip adalah pernyataan tertulis yang bersifat umum, atau aturan utama. Tak ada aturan yang lebih penting daripada prinsip. Prinsip adalah aturan yang paling tinggi. Karena sifatnya yang universal dapat ditarik aturan dari padanya.
Dengan menempatkan sistem nilai ke dalam bentuk yang universal maka dapat digunakan sistem nilai itu sebagai rujukan yang paling teguh untuk mengatasi masalah yang rumit untuk dipecahkan. Nilai moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi, tugas, dan lain – lain. Bagaimanakah kita dapat memilih nilai moral yang cukup banyak jumlahnya itu? tugas ini tidak mudah. Namun demikian, ada sumber yang paling sahih untuk memilih nilai moral itu, yaitu agama – agama besar, seperti Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan kepercayaan lainnya. Ajarannya mengandung nilai inti yang bersifat universal dan dijunjung tinggi oleh pemeluknya. Dalam keanekaragaman nilai itu, maka dapat diperoleh sari patinya. Ada empat nilai moral yang menjadi inti dan bersifat universal sebagai berikut.
Nilai moral pertama adalah keadilan. Di seluruh dunia, keadilan selalu dikumandangkan dan dicari setiap orang, meskipun tak kunjung dicapai. Keadilan itu ada dalam beberapa bentuk: distribuif, prosedural, retributif, dan kompensasi. Keadilan distributif berarti keadilan yang mencakup pembagian keuntungan dan beban secara relatif, dikaitkan dengan hasilnya. Keadilan prosedural mencakup persepsi terhadap prosedur yang dinilai sportif atau fair dalam menentukan hasil. Keadilan retributif mencakup yang fair sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan bagi pelanggar hukum. Keadilan kompensasi mencakup persepsi mengenai kebaikan atau keuntungan yang diperoleh penderita atau yang diderita pada waktu sebelumnya. Keempat bentuk keadilan itu melekat pada pembuatan keputusan dan penalaran moral dalam dunia olah raga.
Nilai moral kedua adalah kejujuran. Kejujuran dan kebajikan selalu terkait dengan kesan terpercaya, dan terpercaya terkait dengan kesan tidak berdusta, menipu, atau memperdaya. Hal ini terwujud dalam tindakan dan perkataan.
Nilai moral ketiga adalah tamggung jawab. Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab ini adalah pertanggungan perbuatan sendiri.
Nilai moral keempat adalah kedamaian. Kedamaian mengandung pengertian tidak akan menganiaya, mencegah penganiayaan, menghilangkan penganiayaan, dan berbuat baik.
Tindakan kekerasan masih membayangi pertandingan olahraga. Bahkan makin meningkat, bukan bertambah surut. Perkelahian antara ofisial dengan pemain, pemain dengan pemain, atau penonton mengeroyok wasit, dan aneka kekerasan, terutama dalam sepak bola makin marak terjadi. Bahkan penonton dengan bangga memperlihatkan perilaku kasar yang sering disebut dalam istilah “holigan” alias kebrutalan. Perilaku agresif ini jelas – jelas melanggar batas dan sangat tidak sportif. Perilaku semacam ini dikhawatirkan juga terjadi dan menular di bidang kegiatan lainnya di mana orang tidak mampu menerima kenyataan dan selalu ingin berada di pihak yang lebih untung, meskipun harus berbuat curang yang tidak terlihat di depan orang.
Memotivasi atlet untuk meraih prestasi bukan dengan menanamkan prinsip tabu kalah. Lebih baik menanamkan keempat nilai moral tersebut. Apabila hal ini dilakukan yang terjadi tidak hanya sportifitas pertandingan, tetapi juga membentuk atlet yang yang berkualitas secara fisik dan psikis. Berkualitas secara fisik maksudnya untuk mengejar prestasi tanpa melakukan kecurangan atlet akan terdorong untuk giat berlatih dan menjaga kesehatan. Sehingga kemampuan fisik meningkat dan kebugaran fisik terjaga. Berkualitas secara psikis maksudnya tanpa melakukan kecurangan, secara bertahap mental semangat bertanding dan rasa percaya diri atlet akan terbentuk. Perilaku kasar penonton sebenarnya merupakan dampak melihat kebiasaan para atlet bermain tidak secara fair play. Apabila semua atlet bertanding secara fair play, kemungkinan besar dapat meminimalisir tindak kekerasan penonton.
Perilaku fair play tidak terbatas pada moral tingkah klaku ketika bertanding. Persiapan dan proses untuk mengikuti pertandinga ternyata tetap memerlukan fair play agar etika dan sportifitas dalam olah raga tetap terjaga. Salah satu perilaku fair play dalam mempersiapkan atlet mengikuti pertandingan adalah tidak mengkonsumsi obat terlarang atau substan lainnya secar ilegal untuk meningkatkan prestasi atlet. Doping dilarang karena berpengaruh buruk pada kesehatan, psikis, dan mencemari nilai pendidikan dalam olahraga. Dampak penggunaan doping jelas merugikan kesehatan karena organ atlet dipaksa bekerja di atas batas normal. Walaupun di awal penggunaan doping berkesan menguntungkan, mampu meningkatkan tenaga dan agresifitas atlet. Namun, pada akhirnya doping perlahan – lahan membunuh atlet. Penggunaan doping juga mengakibatkan krisis percaya diri pada atlet. Atlet merasa dirinya kurang bersemangat tanpa mengkonsumsi doping. Konsumen doping cenderung memiliki sifat pemarah akibat efek agresifitas yang ditimbulkan. Nilai pendidikan pun hilang karena doping. Sebab, masyarakat akan berpikir bahwa olahraga hanya mengandalkan jasmani dan tenaga saja tanpa menggunakan akal pikiran serta etika dalam pelaksanaanya. Penggunaan doping menyalahi etika dalam pendidikan jasmani dan olahraga. Alasannya karena atlet tidak diperlakukan secara manusiawi, atlet diperlakukan seperti mesin. Atlet adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan dan harus dihargai. Tidak terelakkan apabila tujuan mengikuti pertandingan adalah meraih juara, tetapi ada yang lebih penting yaitu memenangkan pertandingan karena murni kemampuan atlet. Tujuan pendidikan jasmani dan olahraga untuk menghasilkan jiwa dan tubuh yang sehat pun hilang karena tindakan tidak fair play. Tujuan tersebut berubah menjadi alat untuk meraih materi dan status sosial semata.
Fenomena yang terkait dengan pendidikan jasmani dan olahraga tersebut menguatkan pernyataan bahwa pendididkan jasmani dan olahraga tidak hanya mengolah keterampilan jasmani. Namun disertai makna kesopanan dan moral di dalamnya. Pendidikan jasmani dan olahraga sangat penting diberikan pada semua jenjang pendidikan. Banyaknya nilai positif dalam pendidikan jasmani dan olahraga serta kontribusinya dalam kehidupan seharusnya bisa menghindarkan terjadinya krisis identitas. Namun, pada kenyataannya sebagian besar masyarakat masih berpandangan pendidikan jasmani dan olahraga tidaklah penting. Krisis identitas terjadi setidaknya karena ada dua konsep salah dalam pendidikan jasmani (Crum, 2003). Pertama, pendidikan jasmani dikonsepsikan secara biologistik (pelatihan-dari-jasmani). Dalam konsep ini, pendidikan jasmani merupakan mata pelajaran untuk melatih “organisme”.
KESIMPULAN
Pendidikan
jasmani dan olahraga pada kenyataanya mengalami krisis identitas. Kalangan
pendidikan jasmani membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Padahal krisis
identitas akan menggerogoti pondasi pendidikan jasmani. Krisis ini berawal dari
intern pendidikan jasmani. Kalangan pendidikan jasmani masih meragukan keampuhan
pendidikan jasmani. Walaupun mereka sudah lama memiliki pernyataan bahwa
pendidikan jasmani mampu menjadi alat ampuh dalam membangun karakter bangsa,
moral, disiplin, dan nilai positif lainnya. Dalam kondisi ini dibutuhkan
pemikiran serius. Melalui filsafat, identitas pendidikan jasmani akan
terbentuk. Usaha ini dapat dilakukan menggunakan aliran filsafat
eksistensialisme. Mengedepankan eksistensi pendidikan jasmani dan olahraga
dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan jasmani dan olahraga yang bertujuan mengolah
jiwa dan raga ke arah positif. Aliran ini memberikan kebebasan pada masyarakat
untuk memilih kegiatan pendidikan jasmani dan olahraga sesuai kemampuan
individu. Sehingga diharapkan mereka merasakan langsung manfaat yang diperoleh.
Hal ini akan membangun identitas baru bahwa pendidikan jasmani adalah penting
untuk tetap dilaksanakan.
SARAN
Pendidikan
Jasmani sangat penting bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan
paripurna. Maka dari itu marilah kita meluangkan waktu kita untuk lebih mempelajari
pendidikan jasmani dan menerapkannya dalam lingkungan masyarakat agar dapat
mencapai kesejahteraan paripurna.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M.H. 2008. Relasi Pemikiran Filsafat dan Pendidikan, Handout Matakuliah Filsafat Penjas dan Olahraga.
http: //gettech.tripod.com/ARSIP/filsafat.htm.
Lutan, Rusli. (2001). Menelusuri Makna Olahraga dalam Olahraga dan Etika Fair Play: Hal 27 – 69.
Lutan, Rusli. (2001). Strategi Penalaran untuk Perilaku Fair Play dalam Olahraga dan Etika Fair Play: Hal 95 – 107.
Lutan, Rusli. (2001). Fair Play dalam Praktek dalam Olahraga dan Etika Fair Play. Hal: 108 – 143.
Lutan, Rusli. (2001). Penggunaan Doping Ditinjau dari Aspek Etika dalam Olahraga dan Etika Fair Play. Hal: 178 – 200.
Margono (2007). Landasan Falsafah Pendidikan Jasmani. Dalam: Asas dan Landasan Pendidikan Jasmani. Hal: 20 – 28.
Osborn, Richard. (2001). Filsafat untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
Pramono, Made. (2003). Dasar – Dasar Filosofis Ilmu Keolahragaan (Suatu Pengantar). Jurnal Filsafat, Jilid 34, No.2.
Salam, Burhanuddin. (2005). Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Setiawan, Caly. (2004). Krisis Identitas dan Legitimasi dalm Pendidikan Jasmani. JPJI, Vol 1 NO.1.
Suhartono, Suparlan. (2007). Nilai Filsafat bagi Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Arruz Media.
Anwar, M.H. 2008. Relasi Pemikiran Filsafat dan Pendidikan, Handout Matakuliah Filsafat Penjas dan Olahraga.
http: //gettech.tripod.com/ARSIP/filsafat.htm.
Lutan, Rusli. (2001). Menelusuri Makna Olahraga dalam Olahraga dan Etika Fair Play: Hal 27 – 69.
Lutan, Rusli. (2001). Strategi Penalaran untuk Perilaku Fair Play dalam Olahraga dan Etika Fair Play: Hal 95 – 107.
Lutan, Rusli. (2001). Fair Play dalam Praktek dalam Olahraga dan Etika Fair Play. Hal: 108 – 143.
Lutan, Rusli. (2001). Penggunaan Doping Ditinjau dari Aspek Etika dalam Olahraga dan Etika Fair Play. Hal: 178 – 200.
Margono (2007). Landasan Falsafah Pendidikan Jasmani. Dalam: Asas dan Landasan Pendidikan Jasmani. Hal: 20 – 28.
Osborn, Richard. (2001). Filsafat untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
Pramono, Made. (2003). Dasar – Dasar Filosofis Ilmu Keolahragaan (Suatu Pengantar). Jurnal Filsafat, Jilid 34, No.2.
Salam, Burhanuddin. (2005). Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Setiawan, Caly. (2004). Krisis Identitas dan Legitimasi dalm Pendidikan Jasmani. JPJI, Vol 1 NO.1.
Suhartono, Suparlan. (2007). Nilai Filsafat bagi Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Arruz Media.
Diposkan oleh Nurul Fajar MN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar