Kamis, 23 Februari 2012

Sejarah Bahasa Indonesia



DARI BAHASA MELAYU KE BAHASA INDONESIA

            Pada bulan Oktober tahun 2003, para pakar dan pemerhati bahasa Indonesia akan menyelanggarakan Kongres Bahasa Indonesia ke-8. Berdasarkan Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada bulan Oktober tahun 1928 yang menyatakan bahwa para pemuda memiliki satu bahasa yakni bahasa Indonesia, maka bulan Oktober setiap tahun dijadikan bulan bahasa. Pada setiap bulan bahasa berlangsung seminar bahasa Indonesia di berbagai lembaga yang memperhatikan bahasa Indonesia. Dan bulan bahasa tahun ini mencakup juga Kongres Bahasa Indonesia.
            Salah satu tujuan dari bulan bahasa adalah mengingatkan kita akan bahasa yang baik dan benar. Sekalipun sudah lebih dari 30 tahun, Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dicanangkan penggunaannya, namun masih banyak pemakai bahasa yang tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan EYD itu. Karena itu, hendaknya bulan bahasa yang berlangsung setiap tahun serta Kongres Bahasa Indonesia yang berlangsung setiap lima tahun dapat menyadarkan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baku.  
            Bahasa Indonesia diturunkan dari bahasa Melayu yang menjadi warisan dari para leluhur kita. Ini berarti bahwa penelaahan bahasa Indonesia perlu dimulai dari penelahaan bahasa Melayu. Paling sedikit, banyak pakar bahasa berusaha menelusuri asal usul bahasa Melayu dan bersama itu muncul berbagai spekulasi tentang asal usul bahasa Melayu. Dictionary of Languages yang dikarang oleh Andrew Dalby bahkan menyatakan bahwa terdapat dugaan kuat bahwa kata Melayu (berasal dari bahasa Dravidian) berarti gunung, entah gunung di daerah mana.
            Slametmuljana di dalam bukunya Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara menunjukkan bahwa bahasa Melayu berasal dari bahasa yang ada di daerah sekitar Indocina meliputi Campa, Mon-Khmer, Bahnar, Rade, Jarai, Sedang, Mergui, Khaosan, Shan, dan sejenisnya. Para pakar lainnya mencari asal usul bahasa Melayu sampai ke Melayu Purba, Proto-Malay, dan Proto-Malayic.  Proto-Malay adalah bahasa Melayu pertama sedangkan Proto-Malayic adalah bahasa rumpun Melayu pertama. Kupasan tentang bahasa Melayu dan rumpun Melayu pertama ini dapat ditemukan di dalam buku Rekonstruksi dan Cabang-cabang bahasa Melayu Induk yang disunting oleh Mohd. Thani Ahmad dan Zaini Mohamed Zain dari Malaysia.
            Bersamaan dengan itu, para pakar bahasa membagi bahasa Melayu ke dalam tujuh zaman. Dimulai dari bahasa tertua, dikenal (1) bahasa Austronesia Purba, (2) bahasa Melayu Purba, (3) bahasa Melayu Kuno, abad ke-7 sampai ke-14, (4) bahasa Melayu Klasik atau Tengahan, abad ke-14 sampai ke-18, (5) bahasa Melayu Peralihan, abad ke-19, (6) bahasa Melayu Baru, abad ke-20, dan (7) bahasa Melayu Modern meliputi bahasa Indonesia, bahasa Malaysia, serta bahasa Melayu Brunei dan Singapura. Sekedar sebagai gambaran, kita coba melihat contoh dari bahasa Melayu berbagai zaman itu.
            Contoh bahasa Melayu tertua yang dapat disajikan di sini adalah bahasa Melayu Kuno dari zaman Sriwijaya. Poerbatjaraka, di dalam bukunya Riwayat Indonesia, mengungkapkan transliterasi aksara Latin dari prasasti pada zaman itu. Dari prasasti Talang Tuwo yang bertahun 684 Masehi yang terdiri atas 14 baris, kita kutip baris ke-6 yang berbunyi “ah ya mamhidupi pasuprakara, marhulun tuwi wreddhi muah ya jangan ya niknai sawanyaknya yang upasargga, pidanna, swapnawighna, waram wua-“
            Secara sayup-sayup, kita mengenali beberapa kata seperti mamhidupi, jangan, sawanyaknya. Terjemahan baris ke-6 itu adalah “pula menghidupi segala jenis khewan, terutama supaya menjadi banyak. Lagi janganlah mereka dikenai segala rintangan, aniaya, dan gangguan tidur. Barang siapa yang” Selain prasasti Talang Tuwo, masih terdapat sejumlah prasasti dari zaman itu sampai ke zaman abad ke-13. Beberapa kutipan adalah sebagai berikut.
            Pada prasasti Kedukan Bukit (tahun 683 Masehi, 10 baris) terdapat kata-kata “dapunta hyang marlapas dari minanga tamwam mamawa yang wala dua laksa dangan kosa” Pada prasasti Talang Tuwo (tahun 684 Masehi, 14 baris) tersebut di atas terdapat kata-kata “sana tatkalanya parlak sriksetra ini niparwuat … samisranya yang kayu nimakan wuahnya” Pada prasasti Kota Kapur (tahun 686 Masehi, 10 baris) terdapat kata-kata “subhiksa muah yang wanuanya pawaris … tatkalanya yang mangmang sumpah ini nipahat di welanya yang wala sriwijaya kaliwat manapik yang bhumi jawa tida bhkati ka sriwijaya” Demikianlah beberapa kata sebagai perkenalan kepada bahasa Melayu Kuno.
            Sebagai contoh dari bahasa Melayu Klasik di dalam prasasti tahun 1286 terdapat kata-kata “inan tatkala paduka bharala,” serta di dalam prasasti tahun 1380 terdapat kata-kata yang berbunyi “hijrat nabi mungstapa yang prasida / tujuh ratus asta puluh sa warsa / haji catur dan dasa wara sukra / raja iman warda rahmat-allah / gutra barubasa mpu hak kadah pase ma /” Dan selanjutnya dari prasasti tahun 1602 ditemukan kata-kata yang segera kita kenali artinya “aku raja yang kuasa yang di bawah angin yang memegang takhta …” Di bawah angin adalah sebutan untuk Melayu di rantau seperti di Malaka.
            Pada 1779 terdapat kumpulan adat yang dikenal sebagai Adat Raja-raja Melayu. Sebagai contoh, di dalamnya kita temukan kata-kata, “Alkisah peri menyatakan adt segala raja-raja Melayu yang purbakala, raja yang besar-besar, tatkala isteri Baginda itu hamil.” Pada bagian akhir kita temukan kata-kata, “Demikianlah adapt segala raja-raja Melayu. Tamat kepada dua likur hari bulan Syakban hari Isnin jam pukul sepuluh dan yang  punya surat ini tuan Raja Pakur. Sanat 1232.” Di sini sanat adalah tahun Hijrah.  
            Tampaknya pada zaman Sriwijaya dengan bahasa Melayu Kuno telah dikenal sejumlah awalan, akhiran, dan sisipan. Terdapat awalan mar- atau war- seperti pada kata marppadah, waranak, atau warpatih yang sekarang berubah menjadi awalan ber-. Pada zaman itu dikenal juga awalan ni- seperti pada kata niminum, niparwuat, nimakan, dan niwunuh yang kini berubah menjadi awalan di-. Pada zaman itu terdapat sisipan –in- seperti pada kata winunuh yang kini dihidupkan kembali dalam bentuk kata kinerja, kinasih, dan sinambung.
            Kata akan tertentu pada zaman itu, kini berubah menjadi akhiran –kan sedangkan imbuhan –nda seperti pada kata ananda, ayahanda, ibunda sudah dikenal sejak zaman Sriwijaya. Demikian pula, pada zaman itu kita mengenal banyak kata yang seperti pada kata yang wala,  yang kayu, yang nivava, yang nitanam, yang manyuruh, dan kata lain semacam itu. Pada zaman sekarang pun kata yang masih digunakan seperti pada kata yang dipertuan agung, yang mulia, yang terkasih, dan yang terhormat.
            Selanjutnya seperti dikemukakan oleh J.J. de Hollander di dalam bukunya Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu bahwa tulisan Melayu Klasik sejak akhir abad ke-13 telah menggunakan huruf Arab. Sekalipun demikian terdapat lafal Arab yang tidak dikenal di dalam bahasa Melayu serta sebaliknya terdapat lafal Melayu yang tiada huruf Arabnya. Karena itu, diciptakanlah huruf Arab khusus untuk bahasa Melayu. Berangsur-angsur melalui pengaruh Portugis dan Belanda, mulai muncul bahasa Melayu yang ditulis di dalam bahasa Latin, di antaranya, terdapat kamus bahasa Melayu.
            Bahasa Melayu Peralihan pada abad ke-19, selain ditulis dalam huruf Arab, sudah mulai ditulis dalam huruf Latin. Sejak akhir abad ke-19, mulai berkembang bahasa Melayu Rendah yang dikenal sebagai bahasa Melayu Cina. Muncul sejumlah penyair Cina yang menulis syair dalam bahasa Melayu, seperti syair Djalanan Kereta Api oleh Tan Teng Kie. Selah satu pakar yang terkenal mempromosikan bahasa Melayu Cina adalah Lie Kim Hok. Dan pada awal abad ke-20, bahasa Melayu Cina ini makin berkembang melalui surat kabar Sin Po. Banyak ceritera yang ditulis di dalam bahasa ini sebagai hasil karya para sastrawan Cina Indonesia. Bahasa ini bertahan sampai awal tahun 1950-an.
            Pada tahun 1901, kita mengenal ejaan van Ophuijsen yakni ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin yang dibakukan. Kemudian melalui pendirian Balai Pustaka, pada tahun 1917, dikembangkanlah bahasa Melayu Tinggi yang disusul dengan sejumlah karangan klasik seperti Salah Asuhan, Siti Nurbaya, dan sejenisnya. Pada tahun 1928, melalui Sumpah Pemuda, bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia. Pada tahun 1938, di Solo, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia Pertama dan disusul dengan Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan pada tahun 1954. Kini secara teratur Kongres Bahasa Indonesia diselenggarakan lima tahun sekali. Dan Kongres Bahasa Indonesia ke-8 akan berlangsung pada bulan Oktober tahun 2003.
            Pada tahun 1947, ketika Suwandi menjadi Menteri Pendidikan, diadakan perubahan ejaan bahasa Indonesia yang dikenal sebagai ejaan Suwandi. Setelah Malaysia merdeka, mereka menyusun ejaan bahasa Malaysia yang berpedoman kepada ejaan bahasa Inggris. Kemudian terjadi pendekatan di antara pakar bahasa Indonesa dan pakar bahasa Malaysia. Sekalipun istilah yang digunakan oleh bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia masih banyak yang berbeda, namun mereka berusaha untuk menyamakan ejaannya. Kesamaan ejaan itu muncul pada tahun 1972 dalam bentuk EYD.
            Kini EYD sudah berumur lebih dari 30 tahun. Ada baiknya kita semua memperhatikan EYD di dalam berbagai tulisan kita. Penutur bahasa Inggris sudah memperhatikan ejaan dan tata bahasa secara ketat. Penutur bahasa Indonesia dapat mengikuti jejak mereka untuk melahirkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Daftar Bacaan


Dalby, Andrew. Dictionary of Languages. London: Bloomsbury Publishing, 1998.

Grijns, C.D. Kajian Bahasa Melayu Betawi. Terj. Rahayu Hidayat. Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 1991.

Hanafiah, Djohan. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.

Hollander, J.J. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. Terj. T.W. Kamil. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Kridalaksana, Harimurti (ed). Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991.

Mohd. Thani Ahmad dan Zaini Mohamed Zain (ed). Rekonstruksi dan Cabang-cabang Bahasa Melayu Induk. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, 1988.

Ophuijsen, Ch. A. van. Tata Bahasa Melayu. Terj. T.W. Kamil.  Jakarta: Penerbit Jambatan, 1983.

Poerbatjarak. Riwajat Indonesia I. Jakarta: Jajasan Pembangunan, 1952.

Salmon, Claudine. Sastra Cina Pranakan dalam Bahasa Melayu. Terj. Dede Oetomo. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Sidharta, Myra (ed). 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekat Pena. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Slametmuljana. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka, 1987.

Sudjiman, Panuti H.M. Adat Raja-raja Melayu. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1983.

Suryadinata, Leo. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Terj. Dede Oetomo. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1988.

Tanojo, Adwina Satmoko. Dari Djalanan Kereta Api Sampai Kembang: Suatu Stui atas Syair-syair Tan Teng Kie. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1993.

Wolters, O.W. The Fall of Srivijaya in Malay History. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1970.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar