DARI
BAHASA MELAYU KE BAHASA INDONESIA
Pada bulan Oktober tahun 2003, para
pakar dan pemerhati bahasa Indonesia akan menyelanggarakan Kongres Bahasa
Indonesia ke-8. Berdasarkan Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada bulan Oktober
tahun 1928 yang menyatakan bahwa para pemuda memiliki satu bahasa yakni bahasa
Indonesia, maka bulan Oktober setiap tahun dijadikan bulan bahasa. Pada setiap
bulan bahasa berlangsung seminar bahasa Indonesia di berbagai lembaga yang
memperhatikan bahasa Indonesia.
Dan bulan bahasa tahun ini mencakup juga Kongres Bahasa Indonesia.
Salah satu tujuan dari bulan bahasa
adalah mengingatkan kita akan bahasa yang baik dan benar. Sekalipun sudah lebih
dari 30 tahun, Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dicanangkan penggunaannya, namun
masih banyak pemakai bahasa yang tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan EYD itu. Karena
itu, hendaknya bulan bahasa yang berlangsung setiap tahun serta Kongres Bahasa
Indonesia yang berlangsung setiap lima
tahun dapat menyadarkan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baku.
Bahasa Indonesia diturunkan dari
bahasa Melayu yang menjadi warisan dari para leluhur kita. Ini berarti bahwa
penelaahan bahasa Indonesia perlu dimulai dari penelahaan bahasa Melayu. Paling
sedikit, banyak pakar bahasa berusaha menelusuri asal usul bahasa Melayu dan
bersama itu muncul berbagai spekulasi tentang asal usul bahasa Melayu. Dictionary of Languages yang dikarang
oleh Andrew Dalby bahkan menyatakan bahwa terdapat dugaan kuat bahwa kata
Melayu (berasal dari bahasa Dravidian) berarti gunung, entah gunung di daerah
mana.
Slametmuljana di dalam bukunya Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara
menunjukkan bahwa bahasa Melayu berasal dari bahasa yang ada di daerah sekitar
Indocina meliputi Campa, Mon-Khmer, Bahnar, Rade, Jarai, Sedang, Mergui,
Khaosan, Shan, dan sejenisnya. Para pakar
lainnya mencari asal usul bahasa Melayu sampai ke Melayu Purba, Proto-Malay,
dan Proto-Malayic. Proto-Malay adalah
bahasa Melayu pertama sedangkan Proto-Malayic adalah bahasa rumpun Melayu
pertama. Kupasan tentang bahasa Melayu dan rumpun Melayu pertama ini dapat
ditemukan di dalam buku Rekonstruksi dan
Cabang-cabang bahasa Melayu Induk yang disunting oleh Mohd. Thani Ahmad dan
Zaini Mohamed Zain dari Malaysia.
Bersamaan dengan itu, para pakar
bahasa membagi bahasa Melayu ke dalam tujuh zaman. Dimulai dari bahasa tertua,
dikenal (1) bahasa Austronesia Purba, (2) bahasa Melayu Purba, (3) bahasa
Melayu Kuno, abad ke-7 sampai ke-14, (4) bahasa Melayu Klasik atau Tengahan,
abad ke-14 sampai ke-18, (5) bahasa Melayu Peralihan, abad ke-19, (6) bahasa
Melayu Baru, abad ke-20, dan (7) bahasa Melayu Modern meliputi bahasa
Indonesia, bahasa Malaysia, serta bahasa Melayu Brunei dan Singapura. Sekedar sebagai
gambaran, kita coba melihat contoh dari bahasa Melayu berbagai zaman itu.
Contoh bahasa Melayu tertua yang
dapat disajikan di sini adalah bahasa Melayu Kuno dari zaman Sriwijaya.
Poerbatjaraka, di dalam bukunya Riwayat
Indonesia, mengungkapkan transliterasi aksara Latin dari prasasti pada zaman
itu. Dari prasasti Talang Tuwo yang bertahun 684 Masehi yang terdiri atas 14
baris, kita kutip baris ke-6 yang berbunyi “ah ya mamhidupi pasuprakara,
marhulun tuwi wreddhi muah ya jangan ya niknai sawanyaknya yang upasargga,
pidanna, swapnawighna, waram wua-“
Secara sayup-sayup, kita mengenali
beberapa kata seperti mamhidupi, jangan, sawanyaknya. Terjemahan baris ke-6 itu
adalah “pula menghidupi segala jenis khewan, terutama supaya menjadi banyak.
Lagi janganlah mereka dikenai segala rintangan, aniaya, dan gangguan tidur.
Barang siapa yang” Selain prasasti Talang Tuwo, masih terdapat sejumlah
prasasti dari zaman itu sampai ke zaman abad ke-13. Beberapa kutipan adalah
sebagai berikut.
Pada prasasti Kedukan Bukit (tahun
683 Masehi, 10 baris) terdapat kata-kata “dapunta hyang marlapas dari minanga
tamwam mamawa yang wala dua laksa dangan kosa” Pada prasasti Talang Tuwo (tahun
684 Masehi, 14 baris) tersebut di atas terdapat kata-kata “sana tatkalanya
parlak sriksetra ini niparwuat … samisranya yang kayu nimakan wuahnya” Pada
prasasti Kota Kapur (tahun 686 Masehi, 10 baris) terdapat kata-kata “subhiksa
muah yang wanuanya pawaris … tatkalanya yang mangmang sumpah ini nipahat di welanya
yang wala sriwijaya kaliwat manapik yang bhumi jawa tida bhkati ka sriwijaya” Demikianlah
beberapa kata sebagai perkenalan kepada bahasa Melayu Kuno.
Sebagai contoh dari bahasa Melayu
Klasik di dalam prasasti tahun 1286 terdapat kata-kata “inan tatkala paduka
bharala,” serta di dalam prasasti tahun 1380 terdapat kata-kata yang berbunyi
“hijrat nabi mungstapa yang prasida / tujuh ratus asta puluh sa warsa / haji
catur dan dasa wara sukra / raja iman warda rahmat-allah / gutra barubasa mpu
hak kadah pase ma /” Dan selanjutnya dari prasasti tahun 1602 ditemukan
kata-kata yang segera kita kenali artinya “aku raja yang kuasa yang di bawah
angin yang memegang takhta …” Di bawah angin adalah sebutan untuk Melayu di
rantau seperti di Malaka.
Pada 1779 terdapat kumpulan adat
yang dikenal sebagai Adat Raja-raja
Melayu. Sebagai contoh, di dalamnya kita temukan kata-kata, “Alkisah peri
menyatakan adt segala raja-raja Melayu yang purbakala, raja yang besar-besar,
tatkala isteri Baginda itu hamil.” Pada bagian akhir kita temukan kata-kata,
“Demikianlah adapt segala raja-raja Melayu. Tamat kepada dua likur hari bulan
Syakban hari Isnin jam pukul sepuluh dan yang
punya surat
ini tuan Raja Pakur. Sanat 1232.” Di sini sanat adalah tahun Hijrah.
Tampaknya pada zaman Sriwijaya
dengan bahasa Melayu Kuno telah dikenal sejumlah awalan, akhiran, dan sisipan.
Terdapat awalan mar- atau war- seperti pada kata marppadah,
waranak, atau warpatih yang sekarang berubah menjadi awalan ber-. Pada zaman itu dikenal juga awalan
ni- seperti pada kata niminum,
niparwuat, nimakan, dan niwunuh yang kini berubah menjadi awalan di-. Pada zaman itu terdapat sisipan –in- seperti pada kata winunuh yang kini
dihidupkan kembali dalam bentuk kata kinerja, kinasih, dan sinambung.
Kata akan tertentu pada zaman itu,
kini berubah menjadi akhiran –kan sedangkan
imbuhan –nda seperti pada kata
ananda, ayahanda, ibunda sudah dikenal sejak zaman Sriwijaya. Demikian pula,
pada zaman itu kita mengenal banyak kata yang
seperti pada kata yang wala, yang kayu,
yang nivava, yang nitanam, yang manyuruh, dan kata lain semacam itu. Pada zaman
sekarang pun kata yang masih
digunakan seperti pada kata yang dipertuan agung, yang mulia, yang terkasih,
dan yang terhormat.
Selanjutnya seperti dikemukakan oleh
J.J. de Hollander di dalam bukunya Pedoman
Bahasa dan Sastra Melayu bahwa tulisan Melayu Klasik sejak akhir abad ke-13
telah menggunakan huruf Arab. Sekalipun demikian terdapat lafal Arab yang tidak
dikenal di dalam bahasa Melayu serta sebaliknya terdapat lafal Melayu yang
tiada huruf Arabnya. Karena itu, diciptakanlah huruf Arab khusus untuk bahasa
Melayu. Berangsur-angsur melalui pengaruh Portugis dan Belanda, mulai muncul
bahasa Melayu yang ditulis di dalam bahasa Latin, di antaranya, terdapat kamus
bahasa Melayu.
Bahasa Melayu Peralihan pada abad
ke-19, selain ditulis dalam huruf Arab, sudah mulai ditulis dalam huruf Latin.
Sejak akhir abad ke-19, mulai berkembang bahasa Melayu Rendah yang dikenal
sebagai bahasa Melayu Cina. Muncul sejumlah penyair Cina yang menulis syair
dalam bahasa Melayu, seperti syair Djalanan
Kereta Api oleh Tan Teng Kie. Selah satu pakar yang terkenal mempromosikan
bahasa Melayu Cina adalah Lie Kim Hok. Dan pada awal abad ke-20, bahasa Melayu
Cina ini makin berkembang melalui surat
kabar Sin Po. Banyak ceritera yang ditulis di dalam bahasa ini sebagai hasil
karya para sastrawan Cina Indonesia.
Bahasa ini bertahan sampai awal tahun 1950-an.
Pada tahun 1901, kita mengenal ejaan
van Ophuijsen yakni ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin yang dibakukan.
Kemudian melalui pendirian Balai Pustaka, pada tahun 1917, dikembangkanlah
bahasa Melayu Tinggi yang disusul dengan sejumlah karangan klasik seperti Salah
Asuhan, Siti Nurbaya, dan sejenisnya. Pada tahun 1928, melalui Sumpah Pemuda,
bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia. Pada tahun 1938, di
Solo, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia Pertama dan disusul dengan
Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan pada tahun 1954. Kini secara teratur
Kongres Bahasa Indonesia diselenggarakan lima
tahun sekali. Dan Kongres Bahasa Indonesia ke-8 akan berlangsung pada bulan
Oktober tahun 2003.
Pada tahun 1947, ketika Suwandi
menjadi Menteri Pendidikan, diadakan perubahan ejaan bahasa Indonesia yang
dikenal sebagai ejaan Suwandi. Setelah Malaysia merdeka, mereka menyusun
ejaan bahasa Malaysia
yang berpedoman kepada ejaan bahasa Inggris. Kemudian terjadi pendekatan di
antara pakar bahasa Indonesa dan pakar bahasa Malaysia. Sekalipun istilah yang
digunakan oleh bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia masih banyak yang berbeda,
namun mereka berusaha untuk menyamakan ejaannya. Kesamaan ejaan itu muncul pada
tahun 1972 dalam bentuk EYD.
Kini EYD sudah berumur lebih dari 30
tahun. Ada
baiknya kita semua memperhatikan EYD di dalam berbagai tulisan kita. Penutur
bahasa Inggris sudah memperhatikan ejaan dan tata bahasa secara ketat. Penutur
bahasa Indonesia
dapat mengikuti jejak mereka untuk melahirkan penggunaan bahasa Indonesia yang
baik dan benar.
Daftar
Bacaan
Dalby, Andrew. Dictionary
of Languages. London:
Bloomsbury Publishing, 1998.
Grijns, C.D. Kajian
Bahasa Melayu Betawi. Terj. Rahayu Hidayat. Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti,
1991.
Hanafiah, Djohan. Melayu-Jawa:
Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Hollander, J.J. Pedoman
Bahasa dan Sastra Melayu. Terj. T.W. Kamil. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Kridalaksana, Harimurti (ed). Masa Lampau Bahasa Indonesia:
Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1991.
Mohd. Thani Ahmad dan Zaini Mohamed Zain (ed). Rekonstruksi dan Cabang-cabang Bahasa Melayu
Induk. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, 1988.
Ophuijsen, Ch. A. van. Tata Bahasa Melayu.
Terj. T.W. Kamil. Jakarta:
Penerbit Jambatan, 1983.
Poerbatjarak. Riwajat Indonesia
I. Jakarta:
Jajasan Pembangunan, 1952.
Salmon, Claudine. Sastra
Cina Pranakan dalam Bahasa Melayu. Terj. Dede Oetomo. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Sidharta, Myra
(ed). 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari
Penjaja Tekstil sampai ke Pendekat Pena. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Slametmuljana. Asal
Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta:
Balai Pustaka, 1987.
Sudjiman, Panuti H.M. Adat Raja-raja Melayu. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia,
1983.
Suryadinata, Leo. Kebudayaan
Minoritas Tionghoa di Indonesia. Terj. Dede Oetomo. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1988.
Tanojo, Adwina Satmoko. Dari Djalanan Kereta Api Sampai Kembang: Suatu Stui atas Syair-syair
Tan Teng Kie. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1993.
Wolters, O.W. The
Fall of Srivijaya in Malay History. Kuala
Lumpur: Oxford
University Press, 1970.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar