Pendahuluan
Korupsi
dalam sejarah manusia bukanlah hal baru. Ia lahir berbarengan dengan umur
manusia itu sendiri. Ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, di sanalah awal
mula terjadinya korupsi. Penguasaan atas suatu wilayah dan sumber daya alam
oleh segelintir kalangan mendorong manusia untuk saling berebut dan menguasai.
Berbagai taktik dan strategi pun dilaksanakan. Perebutan manusia atas sumber
daya alam dan politik inilah awal mula terjadinya ketidakadilan. Padahal
kebutuhan untuk bertahan hidup kian menanjak, tapi kesempatan untuk memenuhinya
semakin terbatas. Sejak saat itu moralitas dikesampingkan. Orientasi hidup yang
mengarah pada keadilan berubah menjadi kehidupan saling menguasai dan
mengekploitasi. Di dalam sejarah, kita dapat menemukan banyak catatan yang
terkait dengan kondisi tersebut.
Di
India korupsi sudah menjadi permasalahan serius sejak 2300 tahun yang lalu, hal
ini terbukti dengan adanya tulisan seorang perdana menteri Chandragupta tentang
40 cara untuk mencuri kekayaan negara.[1]
Kerajaan China, pada ribuan tahun yang lalu telah menerapkan kebijakan yang
disebut Yang-lien yaitu hadiah untuk pejabat negara yang bersih, sebagai
insentif untuk menekan korupsi. Tujuh abad silam, Dante menyebutkan bahwa para
koruptor akan tinggal di kerak neraka dan Shakespeare mengangkat tema-tema
korupsi dalam berbagai karyanya.[2] Pada
abad ke-14 Abdul Rahman berpendapat bahwa akar korupsi adalah keinginan hidup
bermewah-mewah dikalangan elit pemegang kekuasaan, sehingga mereka menghalalkan
berbagai cara untuk membiayai gaya hidup mereka. [3]
Plato dalam bukunya The Laws menyatakan bahwa“The servants of the
nations are to render their services without any taking of presents…..To form
your judgment and then abide by it is no easy task, and “tis a man”s surest
course to give loyal obedience to the law which commands, “Do no service for a
present”.”[4]
Di
Indonesia, korupsi mulai terjadi sejak jaman kerajaan. Bahkan VOC bangkrut pada
awal abad 20 akibat korupsi yang merajalela di tubuhnya. Setelah proklamasi
kemerdekaan, banyak petinggi Belanda yang kembali ke tanah airnya, posisi
kosong mereka kemudian diisi oleh kaum pribumi pegawai pemerintah Hindia
Belanda (ambtenaar) yang tumbuh dan berkembang di lingkungan
korup. Kultur korupsi tersebut berlanjut hingga masa pemerintah
Orde Lama. Di awal pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto melakukan berbagai
upaya untuk memberantas korupsi. Terlepas dari upaya tersebut, Presiden
Soeharto tumbang karena isu korupsi. Perjalanan panjang korupsi telah membuat
berbagai kalangan pesimis akan prospek pemberantasan korupsi, baik di Indonesia
maupun di berbagai belahan dunia.
Dalam
dua dekade terakhir, dunia mulai memandang korupsi sebagai isu penting.
Berbagai inisiatif untuk memerangi korupsi dilakukan mulai dari tingkat
nasional, regional hingga level internasional. Pandangan bahwa korupsi
mendorong pertumbuhan ekonomi mulai ditinggalkan banyak kalangan. Korupsi
dipandang bukan hanya sebagai permasalahan moral semata, tetapi sebagai
permasalahan multidimensional (politik, ekonomi, social dan budaya).Perubahan
cara pandang dan pendekatan terhadap korupsi, yang diikuti dengan menjamurnya
kerjasama antar bangsa dalam isu ini menyemai optimisme bahwa perang melawan
korupsi adalah perang yang bisa kita menangkan.
Tulisan
ini disusun untuk menyamakan sekaligus mempertajam kerangka berpikir guna
membantu para pembaca dalam menyelami bab-bab selanjutnya. Tulisan ini terdiri
dari beberapa bagian dan mengupas berbagai isu korupsi mulai dari pengertian
korupsi, pergeseran cara pandang dunia terhadap korupsi, tipologi korupsi dan
model-model analisa tentang korupsi. Selain itu, akan didiskusikan juga
alternatif pendekatan untuk menekan tingkat korupsi. Diakhir akan diulas
perlunya membangun integritas di berbagai aspek kehidupan bangsa (integritas
nasional) sebagai langkah untuk memberantas korupsi.
Apa
itu Korupsi?
Apabila
kita mengunjungi website Webster Dictionary dan meng-klik kata corruption,
definisi yang muncul adalah “immoral conduct or practices harmful or
offensive to society atau a sinking to a state of low moral standards
and behavior (the corruption of the upper classes eventually led to the fall of
the Roman Empire).”[5]
Definisi
tersebut terlalu luas dan kurang bermanfaat untuk dijadikan pijakan dalam
membahas korupsi sebagai permasalahan multidimensi (politik, ekonomi dan
sosial-budaya).
Definisi
lain dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan UNDP,
adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang
lebih luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk
kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara
bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.[6]
Definisi ini merupakan konsensus yang banyak diacu para pakar di bidang
anti-korupsi. Walau demikian, definisi ini belum sempurna meski cukup
membantu dalam membatasi pembicaraan tentang korupsi. Beberapa kelemahan
definisi tersebut di antaranya bias yang cenderung memojokkan sektor publik,
serta definisi yang tidak mencakup tindakan korupsi oleh privat walaupun
sama-sama merugikan publik.
Korupsi
terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu: (1) Seseorang memiliki kekuasaan
termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan
tersebut, (2) Adanya economic rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada
sebagai akibat kebijakan publik tersebut, dan (3) Sistem yang ada membuka
peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang bersangkutan.
Apabila satu dari ketiga parameter ini tidak terpenuhi, maka
tindakan yang terjadi tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsi.[7]
Secara
umum, tindakan illegal seperti penggelapan pajak dan penyelundupan selama
tidak melibatkan pejabat publik tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi,
padahal secara tidak langsung tindakan ini merugikan publik karena mengurangi
pendapatan negara dari sektor pajak. Dalam studi Lambsdorff disebutkan bahwa
besarnya proporsi budget pemerintah terhadap GDP suatu negara berkorelasi
positif terhadap tingkat korupsi[8],
barangkali definisi korupsi yang bias pada sektor publik merupakan salah satu
jawabannya.
Definisi
tersebut juga menyamaratakan korupsi di negara yang menganut sistem kerajaan
dan demokrasi. Dalam negara kerajaan, raja mempunyai wewenang untuk mengatur
distribusi kekayaan negara bagi rakyat, karena pada prinsipnya tidak ada
pemisahan antara kekayaan negara dan kekayaan pribadi raja. Sebagai contoh,
seorang raja bisa saja menggunakan uang kerajaan untuk urusan pribadi dan
ini tidak diangap sebagai tindakan korupsi. Tindakan yang sama akan menjadi
kasus korupsi besar apabila terjadi di negara demokrasi. Pertanyaannya, apabila
sebuah negara demokrasi dengan tingkat korupsi tinggi mentransform diri menjadi
negara kerajaan, apakah berbagai kasus korupsi akan terselesaikan atau dianggap
selesai? Menggunakan definisi korupsi yang ada dan alat ukur yang kita miliki
saat ini, bisa jadi jawaban dari pertanyaan tersebut adalah ya.
Transparansi
Internasional mempunyai definisi yang lebih fleksibel tentang korupsi, yaitu
“penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan orang lain, untuk kepentingan
pribadi”. Di sisi lain, Indonesia juga telah mengambil langkah maju dalam
mendefiniskan tindak korupsi, dimana jenis tindakan yang termasuk dalam
kategori korupsi diperluas, bahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencantumkan daftar 29 perbuatan yang bisa
dikategorikan sebagai korupsi, baik melibatkan maupun tidak melibatkan pejabat
publik. Informasi tentang ke-29 perbuatan tersebut, tercantum dalam tulisan
Saldi Isra dan Eddy OS. Hiariej dalam bagian lain dari buku ini.
Pergeseran
Pandangan Tentang Korupsi
Pandangan
tentang korupsi mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Debat tentang apakah
korupsi mampu meningkatkan efisiensi ekonomi cukup mendominasi diskursus
tentang korupsi pada periode 1970-an dan awal 1980-an.
Salah
satu prinsip yang dianut oleh sebagian kalangan saat itu adalah “grease –the
–wheel”. Korupsi dipandang oleh para “corruption apologist” sebagai
minyak pelumas sistem ekonomi yang tidak berjalan secara efisien akibat tidak
berfungsinya birokrasi dikombinasikan dengan peraturan pemerintah yang tumpang
tindih.[9]
Dalam kondisi ini, suap dipandang sebagai insentif bagi pegawai publik untuk
melayani klien dengan sebaik-baiknya. Ari Perdana, pada bagian lain dari buku
ini mengulas bahwa korupsi baru bermanfaat ketika birokrasi benar-benar tidak
berfungsi sehingga perlu pelumas. Hal ini bukanlah kondisi ideal bagi mesin
ekonomi untuk bekerja, tetapi merupakan second best saja. Dalam kata
lain, kondisi ini lebih baik daripada mesin ekonomi tidak berjalan sama sekali.
Grease perlu diberikan supaya “roda” (baca: mesin ekonomi) yang macet
karena “karatan” bisa berputar. Idealnya, kita menjaga agar “roda” tersebut
tidak “karatan”, sehingga tanpa minyak pun bisa berputar tanpa hambatan.
Dalam
dua puluh tahun terakhir, cara pandang dunia terhadap masalah korupsi mengalami
perubahan drastis. Korupsi dipandang sebagai masalah, dan penanganan korupsi
mulai menjadi perhatian dunia. Berbagai faktor yang mendorong perubahan paradigma
tersebut adalah:
Pertama,
berakhirnya perang dingin. Pada masa perang dingin,
bantuan luar negeri lebih bersifat ideologis daripada ekonomis dan ditujukan
untuk mengikat negara berkembang supaya tidak beralih kepada blok lawan. Dalam
kata lain, donor asing cenderung tidak menempatkan kualitas program, alokasi
dana dan tata kelola yang baik pada saat implementasi sebagai faktor
pertimbangan utama diberikannya dana, sehingga kebocoran merupakan efek yang
tidak bisa dihindari. Keruntuhan Uni Soviet yang mengakhiri perang dingin
merubah praktek tersebut. Donor asing lebih pragmatis dan menuntut agar
dana dipergunakan secara efisien dan akuntable. Isu pemberantasan korupsi mulai
mengemuka di kalangan donor asing.
Kedua ,
kejatuhan presiden Filipina, Ferdinand Marcos[10],
oleh people power pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya, 1986.[11]
Dunia tidak pernah menduga bahwa kejatuhan Marcos akan terjadi demikian cepat.
Korupsi yang sangat kronis membuat rakyat Filipina mulai gerah hingga mendorong
munculnya berbagai protes. Awalnya protes kecil, tetapi menjadi
masal berkat peran gereja-gereja sebagai simpul mobilisasi masa (saat itu
SMS, e-mail dan Facebook belum populer). Ketika kardinal Sin
merestui demo tersebut, protes menjadi semakin masif dan berskala nasional.
Pemberitaan oleh berbagai media, seperti BBC dan CNN, membuat dunia turut
memberikan tekanan kepada Marcos untuk mundur. Kejadian ini merupakan momentum
penting bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia karena dianggap sebagai
gerakan murni yang berasal dari, dilakukan oleh dan untuk rakyat – dalam
banyak kasus rakyat sering dijadikan sebagai “kendaraan” aktor politik tertentu.
Kejadian ini juga mengirimkan pesan yang kuat bagi para penguasa korup di
seluruh dunia tentang resiko atas tindakan mereka. Secara tidak langsung,
peristiwa tersebut juga menginspirasi masyrakat dunia agar lebih berani
bertindak. Kejadian di Filipina, secara tidak disadari, diikuti oleh upaya
pemberantasan korupsi di berbagai belahan dunia, termasuk Spanyol, Itali,
Perancis, Jepang, Meksiko dan beberapa negara Amerika Latin lainnya.
Ketiga,
kegagalan konsep pembangunan di banyak negara berkembang,
terutama di Afrika. Terlepas dari konsep pembangunan yang disusun secara
komprehensif dengan nilai program miliaran dollar, hasil pembangunan ternyata
jauh dari harapan. Bahkan, indikator makroekonomi, dan kualitas hidup penduduk
Afrika justru semakin terpuruk dari waktu ke waktu.[12] Paul
Collier dalam “The Bottom One Billion” menyebutkan bahwa 80 persen
dari satu miliar penduduk termiskin dunia berada di 50 failing states
yang kebanyakan berada di Afrika. Masih menurut Collier, kemiskinan tersebut
disebabkan oleh empat jebakan yang bersifat fundamental, yaitu: (1) konflik
horizontal, (2) land-lock countries[13]
dengan tetangga yang kurang kondusif – negara-negara korup dan penuh konflik,
(3) kekayaan alam berlimpah – yang dikelola secara korup dan tidak untuk
kepentingan rakyat, dan (4) pemerintahan yang tidak menerapkan good
governance. Korupsi sangat erat terkait dengan dua faktor penyebab
kemiskinan yang disebutkan terakhir, dan kesimpulan ini sejalan dengan berbagai
riset yang menyatakan bahwa korupsi menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan
sosial.
Keempat,
munculnya berbagai NGO anti-korupsi di dunia, terutama
pada periode 1990-an. Institusi seperti, Transparency International dan
lain-lain mengeluarkan berbagai peringkat dan skor persepsi korupsi serta integrity
index di berbagai negara di seluruh dunia.[14] Hal
ini memungkinkan kita untuk membandingkan secara apple to apple tingkat
korupsi di berbagai negara. Terlepas dari berbagai kelemahan sistem pengukuran
yang ada, ranking dan skor yang dipublikasikan telah berhasil menggugah
berbagai negara untuk meningkatkan upaya pencegahan dan perang melawan korupsi.
Mereka ingin “naik kasta” menjadi negara bersih. Hal ini ditujukan untuk
menarik investor asing dan untuk menaikkan gengsi pemerintah. Mengingat
mayoritas ranking dan skor tersebut merupakan index persepsi, beberapa negara
lebih fokus pada kegiatan pembangunan —citra dari pada pemberantasan korupsi
yang sesungguhnya karena dinilai lebih efektif dalam memperbaiki skor
mereka.
Kelima,
runtuhnya ekonomi negara-negara Asia pada ekonomi krisis
1997. Para corruption apologist sering menggunakan solidnya kinerja
ekonomi “Macan Asia” (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura),
Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina – negara dengan tingkat korupsi yang
tinggi tetapi mempunyai kinerja ekonomi yang menakjubkan – sebagai justifikasi
pandangan mereka. Krisis ekonomi tahun 1997 telah meruntuhkan
perekonomian negara-negara tersebut, korupsi yang akut makin memperparah
keadaan serta mempersulit proses kebangkitan mereka. Hal ini memutar balikkan
pandangan para corruption apologist. Korupsi bukanlah pelumas bagi mesin
ekonomi, tetapi sebaliknya merupakan pasir (sand in the economic engine)
yang menghambat mesin ekonomi bekerja dengan baik, akibat inefisiensi serta
kesalahan alokasi sumberdaya yang ditimbulkannya.[15]
Kalaupun tumbuh, pertumbuhan tersebut tidaklah berkelanjutan.
Saat
ini, hampir seluruh kalangan bersepakat tentang apa itu korupsi dan dampak
korupsi bagi perekonomian negara. Diskursus tentang korupsi lebih banyak
diorientasikan untuk membahas cara-cara penanggulangan korupsi serta upaya
mempererat kerjasama internasional karena dalam era modern ini, korupsi sering
merupakan aktivitas lintas negara dan benua.
Tipologi
Korupsi
Arvind
Jain dalam paper berjudul “Corruption: a Review” secara menarik
menggambarkan area dimana korupsi sering terjadi di negara demokrasi. Pemetaan
interaksi antar aktor politik dan ekonomi membantu memberikan gambaran tentang
potensi korupsi.[16]
Untuk menggambarkan kondisi di Indonesia, pandangan tersebut penulis
sesuaikan menjadi diagram sebagai berikut:
Interaksi
1
Interaksi
1 melibatkan rakyat dan pemimpin negara yang dipilih melalui proses demokrasi.
Dalam interaksi tersebut, terutama di negara demokrasi yang belum mengalami
konsolidasi, peluang korupsi politik dalam berbagai bentuk, termasuk politik
uang untuk memenangkan pemilu sangat mungkin terjadi. Umumnya, pemimpin
terpilih mempunyai diskresi yang luas dalam menentukan kebijakan pemerintah.
Diskresi ini membuka kesempatan bagi para pemimpin untuk mengambil kebijakan
yang tidak menomorsatukan kepentingan rakyat, dari mana kekuasaan mereka
sesungguhnya berasal. Dalam banyak kasus, para elit politik mengeluarkan
kebijakan, termasuk kebijakan ekonomi, yang menguntungkan kelompok tertentu.
Dalam kebijakan alokasi anggaran misalnya, elit politik bisa saja mengarahkan
penggunaan anggaran pemerintah untuk sektor yang sebenarnya kurang bermanfaat
bagi rakyat, tetapi dapat membesarkan bisnis para “investor politik” mereka.
Privatisasi
adalah contoh klasik dalam kasus ini, dimana kebijakan publik diarahkan untuk
mentransfer kepemilikan asset berharga milik publik kepada privat.
Walaupun privatisasi berpotensi untuk menciptakan lingkungan bisnis yang
relatif bersih dan kompetitif, tetapi proses privatisasi itu sendiri sangat
rawan korupsi.
Interaksi
2
Interaksi
2 terdiri dari tiga bagian, yaitu: (1) Interaksi antara para birokrat dengan
pemimpin pilihan rakyat, (2) Interaksi antara birokrat dengan anggota
legislatif dan (3) Interaksi antara birokrat dengan rakyat. Interaksi ini
membuka peluang terjadinya bureaucratic corruption atau korupsi
birokrat.
Dalam
berbagai kasus, birokrat atau pejabat publik yang dipilih oleh para pimpinan
negara sering diposisikan sebagai kepanjangan tangan mereka untuk “memeras”
kekayaan negara melalui berbagai institusi pemerintahan maupun perusahaan milik
negara (BUMN). Birokrat terpilih diharuskan menyerahkan setoran rutin kepada para
elit politik untuk melanggengkan posisi politik mereka melalui proses demokrasi
yang koruptif. Dalam kondisi ini, sangat mungkin korupsi terjadi secara
berulang.
Interaksi
antara pejabat publik dengan anggota legislatif juga membuka peluang terjadinya
korupsi. Di Indonesia, seleksi pejabat tingkat tertentu (misalnya Gubernur BI,
Direksi BUMN, Ketua MA, Ketua KPK, Ketua BPK dan lain-lain) harus melalui
proses fit and proper test di legislatif. Proses ini memunculkan peluang
“jual beli” jabatan yang melibatkan kandidat pejabat publik dan anggota
legislatif. Setelah terpilih, legislatif berhak untuk mengadakan dengar
pendapat dengan para birokrat terpilih, interaksi ini juga membuka peluang
terjadinya korupsi.
Pada
dataran yang lain, interaksi antara pejabat publik dengan rakyat merupakan
pintu terjadinya korupsi kecil, pejabat publik korup dari berbagai level
mengutip uang dari rakyat. Proses ini sangat mungkin terjadi, mengingat kantor
pelayanan publik (Kantor pelayanan KTP, IMB, SIM, ijin usaha, dll) umumnya
memonopoli pelayanan publik, padahal monopoli merupakan pintu utama terjadinya
korupsi.[1]
Dalam banyak kasus, korupsi kecil terjadi secara integratif, melibatkan
karyawan level bawah hingga level atas. Karyawan level bawah diharuskan
menyetorkan pendapatannya kepada atasan, sebaliknya atasan memberikan
perlindungan kepada bawahan.
Interaksi
3
Interaksi
3 melibatkan pemimpin terpilih dan anggota legislatif. Berbagai kebijakan
publik memerlukan persetujuan dari legislatif, interaksi ini membuka peluang
terjadinya korupsi legislatif (legislative corruption) baik berupa suap
kepada atau pemerasan oleh anggota legislatif. Korupsi legislatif relatif mudah
terjadi pada negara dengan sistem demokrasi yang belum terkonsolidasi, dimana
pembiayaan kampanye politik belum diatur dan diawasi dengan baik. Sistem voting
tertutup di lembaga legislatif, seperti yang terjadi di Indonesia, turut
memperparah kondisi karena konstituen tidak bisa mengawasi apakah para wakil
yang mereka pilih benar-benar mewakili kepentingan mereka. Hal ini merupakan
awal munculnya problem akuntabilitas yang akut.
Faktor
lain yang berkontribusi terhadap fenomena korupsi legislatif adalah tidak
adanya kelompok oposisi yang kuat. Kelompok kepentingan tertentu (interest
group) mempunyai peluang besar untuk dapat memuluskan ide mereka
melalui lobi dengan biaya yang jauh lebih rendah, karena mereka cukup menyogok
satu kelompok saja. Di lain pihak, ketiadaan oposisi yang kuat juga menurunkan
resiko atas tindakan korupsi para anggota legislatif dan kelompok kepentingan
tertentu, akibat tidak adanya pihak oposisi yang berpotensi membongkar
penyimpangan yang terjadi.
Interaksi
4
Interaksi
4 melibatkan rakyat dan anggota legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum.
Demokrasi prosedural relatif lebih mudah diwujudkan, tetapi mewujudkan
demokrasi substansial bukanlah perkara mudah. Sebagai contoh, India telah
memiliki demokrasi tanpa henti sejak tahun 1950 (tiga tahun setelah merdeka
dari Inggris pada tahun 1947), tetapi hingga saat ini demokrasi masih belum
merealisasikan janjinya yaitu kemakmuran yang adil bagi seluruh rakyat. Salah
satu prakondisi bagi terwujudnya demokrasi substantif adalah pengaturan politik
uang dan pendanaan kampanye yang baik.
Di
negara dimana politik uang merupakan fenomena biasa, seringkali politisi
menyuap rakyat agar mereka terpilih dalam pemilu, sehingga keterpilihan mereka
tidak ditentukan oleh kinerja tetapi oleh kemampuan finansial mereka. Tentu
saja dari para “investor politik”, dari mana uang tersebut bersumber,
mengharapkan “pengembalian investasi” berupa kebijakan yang menguntungkan
mereka.
Grand
Corruption & Petty Corruption
Terdapat
ratusan, bahkan ribuan jenis tindakan yang bisa kita kategorikan sebagai korupsi.
Tindakan-tindakan tersebut dapat kita kelompokan dalam dua kategori besar yaitu
grand corruption atau korupsi besar dan petty corruption atau
korupsi kecil. Tidak ada landasan teori yang pasti sebagai dasar penggolongan
tersebut, tetapi prinsip yang dapat dijadikan acuan adalah besaran dana, modus
operandi serta level pejabat publik yang terlibat di dalamnya.
- a. Grand Corruption
Grand
corruption atau korupsi besar adalah korupsi yang
dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan
keputusan besar di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi. Korupsi disebut
juga corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan, karena para
pelaku umumnya sudah berkecukupan secara materiil.
Korupsi
besar menyebabkan kerugian negara yang sangat besar secara finansial
maupun non-finansial. Modus operandi yang umum terjadi adalah kolusi
antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan para pengambil kebijakan publik.
Melalui pengaruh yang dimiliki, kelompok kepentingan tertentu mempengaruhi
pengambil kebijakan guna mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya.
Apabila pengaruh kelompok tersebut begitu besar dan seolah dapat mengontrol
proses perumusan kebijakan publik, fenomena ini sering disebut dengan state
capture atau elit capture.
State
caputer dapat terjadi dalam berbagai bentuk, World Bank – dalam bukunya
Anti-Corruption in Transition 2, menjabarkan beberapa bentuk state capture
yaitu: (1) suap kepada anggota DPR untuk mempengaruhi perundangan, (2) suap
kepada pejabat negara untuk mempengaruhi kebijakan publik, (3) suap kepada
lembaga peradilan untuk mempengaruhi keputusan terkait dengan kasus-kasus
besar, (4) suap kepada pejabat bank sentral untuk mempengaruhi kebijakan
moneter, dan (5) sumbangan kampanye ilegal untuk partai politik.[2]
Kerugian
terbesar bagi negara dan rakyat tidak saja diakibatkan oleh besarnya nilai uang
yang hilang, tetapi juga bergesernya orientasi kebijakan publik dari untuk
kepentingan rakyat menjadi untuk kepentingan segelintir individu. Dalam
jangka menengah dan panjang, grand corruption akan melahirkan problem
struktural yang sulit untuk ditata ulang, seperti struktur ekonomi yang tidak
efisien serta struktur politik yang koruptif. State capture akan
menjadikan demokrasi sebagai quasai sistem kerajaan, dimana tidak ada pembedaan
yang jelas antara kekayaan/kepentingan para elit politik dan
kekayaan/kepentingan negara.[3]
Ketika ini terjadi, sangat kecil peluang bagi suatu bangsa untuk meluruskannya.
Sebagai contoh, Indonesia memerlukan krisis ekonomi dan guncangan sosial
politik yang dahsyat pada tahun 1998, untuk bisa menggeser struktur ekonomi dan
politik ke arah yang benar.
Contoh
klasik korupsi besar adalah privatisasi asset negara secara tidak transparan
dan fair, pemberian konsesi eksploitasi tambang dan kekayaan alam lainnya
kepada kelompok tertentu, proses tender proyek skala besar yang tidak
transparan, keringanan pajak dan biaya masuk untuk sector dan kelompok
tertentu, dan bailout secara pilih kasih kepada perusahaan tertentu agar lolos
dari jebakan krisis ekonomi.
- Petty corruption
Petty
corruption atau korupsi kecil, sering disebut survival
corruption atau corruption by need, adalah korupsi yang dilakukan
oleh pegawai pemerintah guna mendukung kebutuhan hidup sehari-hari, akibat
pendapatan yang tidak memadai.[4]
Korupsi kecil merupakan fenomena yang terjadi di banyak negara yang gagal
menyusun dan mengimplementasikan kebijakan publik yang menyejahterakan rakyat.
Tentunya, kita sepakat bahwa korupsi dengan alasan apapun merupakan tindakan
yang tidak bisa dibenarkan, tetapi penulis memandang kesalahan mendasar
penyebab maraknya korupsi kecil di dalam birokrasi adalah belum dilaksanakannya
reformasi birokrasi yang mampu menerapkan merit system yang
menyejahterakan para pegawai pemerintah.
Pemberantasan
korupsi kecil sama strategisnya dengan pemberantasan grand corruption
mengingat: pertama, kendati nilai kerugian per-kejadian relatif kecil,
tetapi dikarenakan jumlah kejadian yang masif, total kerugian yang diderita
oleh negara dan masyarakat akibat korupsi ini sangat besar. Kedua,
korupsi kecil menyangkut sisi kehidupan sehari-hari masyarakat. Apabila tidak
segera ditanggulangi, masyarakat akan menganggap korupsi sebagai bagian dari
keseharian mereka yang akan menciptakan masyarakat yang permisif dan toleran
terhadap korupsi. Apabila ini terjadi, upaya untuk melibatkan masyarakat secara
aktif dalam memberantas korupsi akan semakin sulit dilaksanakan. Ketiga,
korupsi kecil menyemai korupsi besar. Pejabat tingkat bawah, yang terlibat
korupsi kecil, dengan berjalannya waktu akan menjadi pejabat tinggi dengan
diskresi kekuasan yang besar. Ada kecenderungan seseorang untuk mengulangi
kejahatan yang pernah dilakukannya sepanjang ada kesempatan, sehingga
meningkatkan potensi terjadinya korupsi besar; Hal ini relevan dengan tulisan
Rimawan Pradiptyo di bagian lain dari buku ini yang menjabarkan kecenderungan
seorang pelaku kejahatan untuk mengulang bahkan melipatkan ukuran kejahatan di
masa mendatang.
Salah
satu pertanyaan pertanyaan penting di sini adalah apakah benar menaikan gaji
pegawai bisa menekan tingkat korupsi dan apakah gaji pegawai negeri saat ini
terlalu rendah. Dalam penelitian Treisman dan Evans ditunjukkan bahwa tidak ada
indikasi kuat bahwa gaji yang lebih tinggi akan menurunkan tingkat
korupsi.[5]
Beberapa survei termasuk yang dilakukan oleh Sakernas membuktikan bahwa
sebenarnya pegawai negeri menerima pendapatan relatif lebih tinggi dari pegawai
swasta, apabila memasukan komponen tunjangan di luar gaji pokok. Dalam kata
lain, gaji pegawai negeri per-unit kontribusi yang mereka lakukan sebenarnya
sudah relatif kompetitif.
Pada
abad ke-18, Swedia, salah satu negara dengan tingkat korupsi paling rendah di
dunia saat ini, merupakan negara yang paling korup di Eropa, upaya menaikan gaji
pegawai pemerintah dikombinasikan dengan deregulasi di sektor kepegawaian telah
melahirkan pegawai-pegawai pemerintah yang jujur dan kompeten.[6]
Pengalaman Swedia menunjukkan bahwa bahwa kenaikan gaji saja tidaklah cukup,
upaya menekan korupsi kecil hendaknya dilakukan melalui reformasi birokrasi
yang menyeluruh. Pada bagian lain dari buku ini, Vishnu Juwono mengupas secara
komprehensif dan sistematis isu reformasi birokrasi ini.
Mengapa
Korupsi Sulit Diberantas?
Meski
upaya pemberantasan korupsi gencar dilaksanakan, tetapi kondisi tidak
kunjung membaik. Korupsi merupakan isu multidimensional yang mempunyai komponen
politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang sering melibatkan para pemegang
kekuasaan, sehingga memberantas korupsi bukanlah perkara mudah.
Sejarah
mencatat begitu banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat karena mengangkat isu
pemberantasan korupsi sebagai tema sentral kampanye mereka. Tetapi paradoks
terjadi, terlepas apakah mereka benar-benar anti-korupsi dan pada awalnya
berupaya keras untuk memberantas korupsi, ataukah mereka sekedar menggunakan
isu korupsi untuk meraih simpati masa saja, banyak di antara mereka yang jatuh
akibat kasus korupsi. Di Indonesia misalnya, pada awal kepemimpinan Presiden
Soeharto berupaya secara serius memberantas korupsi melalui pembentukan
berbagai lembaga, tetapi upaya yang bersifat formalistis tersebut gagal dan
bahkan isu korupsi ikut menjatuhkannya pada tahun 1998. Di Filipina, Presiden
Estrada terpilih melalui pemilu yang bebas dan terbuka pada tahun 1998 dengan
mengusung isu pemberantasan korupsi. Pada tahun 2001, Estrada kehilangan
kekuasaan dan bahkan dihukum karena keterlibatannya dalam berbagai kasus
korupsi. PM Benazir Bhuto dari Pakistan, Presiden Olusegun Obasanjo dari
Nigeria, adalah sebagian kecil dari deretan panjang pemimpin dunia yang
bernasib sama. Michael Natch menyebutkan bahwa tingginya korupsi merupakan
sebuah parameter yang valid untuk memprediksi tumbangnya suatu pemerintahan.[7]
Korupsi
merupakan kejahatan yang sulit diungkap, karena korupsi melibatkan dua pihak
yaitu koruptor dan klien yang sering keduanya berupaya untuk menyembunyikan
kejadian tersebut, mengingat manfaat besar korupsi bagi mereka dan/atau risiko
hukum atau sosial apabila tindakan mereka terungkap. Dalam kasus korupsi dimana
klien dan pejabat korup yang sama-sama menikmati manfaat, mereka akan menutupi
asi mereka agar kepentingan mereka tetap terlindungi. Swmentara dalam kasus
korupsi dimana salah satu pihak merupakan korban, si korban cenderung tidak
melaporkan kejadian mengingat, dalam banyak kasus, korban dapat dipersalahkan
ketika membongkar kasus korupsi dengan berbagai alasan termasuk alasan
pencemaran nama baik. Busyro Muqoddas di bagian lain dari buku ini
mengungkapkan contoh kasus yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini.
Sama
halnya dengan kasus penggunaan obat terlarang ataupun perkosaan, kasus korupsi
ditutupi oleh pihak yang terlibat, termasuk oleh korban, sehingga data yang
terekspose kemungkinan hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah kasus yang
sesungguhnya terjadi. Dengan kata lain, kasus korupsi seperti gunung es dimana
sebagian besar kejadian tidak muncul di permukaan.
Pelaporan
oleh pihak yang dirugikan oleh kasus korupsi merupakan ujung dari mata rantai
pemberantasan korupsi. Sayangnya, para pelapor yang biasa disebut dengan wistleblower
merupakan makluk langka yang jarang ditemui. Satu faktor di antaranya
adalah kurang memadainya perlindungan terhadap pelapor. Walaupun Indonesia
sudah memiliki wistleblower rule, tetapi dalam taraf implemetasi,
kebijakan tersebut masih mengandung banyak kelemahan. Mas Ahmad Daniri mengulas
secara lebih detail permasalahan Whitleblower dalam bagian lain dari
buku ini.
Korupsi
terjadi apabila tiga hal terpenuhi yaitu: (1) adanya benefit atau rent
yang bisa dibagikan[8], (2)
adanya pejabat publik yang memiliki kekuasaan, yang mau memfasilitasi
proses korupsi – dalam hal ini memberikan akses kepada pihak tertentu terhadap benefit
tersebut, dan (3) adanya pihak tertentu yang mau melakukan upaya penyogokan.
Poin
kedua di atas, menggambarkan bahwa kasus korupsi sering melibatkan pejabat
publik atau elit politik yang mempunyai kekuasaan. Mereka tentunya tidak akan
tinggal diam dan berupaya mempengaruhi proses penyelidikan dan penyidikan kasus
korupsi. Kemungkinan yang sering terjadi adalah para koruptor, secara
terorganisasi maupun tidak, bekerjasama melawan upaya pemberantasan korupsi;
atau sering disebut dengan “corruption fight back” atau serangan balik
korupsi. Serangan ini sering mengakibatkan jatuhnya tokoh sentral dibelakang
pemberantasan korupsi.
Nuhu
Ribadu adalah salah satu contoh. Pejuang anti-korupsi dan mantan ketua the
Economic and Financial Crimes Commission of Nigeria (KPK-nya Nigeria),
merupakan satu diantaranya “korban” corruption fight back.[9] Nuhu
mengungkapkan kepada penulis bahwa pada tahun 2007 jabatannya dicabut akibat
dirinya membongkar kasus korupsi salah seorang gubernur di Nigeria dan dirinya
juga secara serius mulai mengungkap kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh
di sekitar presiden Nigeria. Hingga saat ini Nuhu tinggal di pengasingan, di
luar negeri. Kejadian ini sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia jauh lebih
maju dalam pemberantasan korupsi dibandingkan dengan Nigeria dan banyak negara
lain. Di Indonesia, beberapa gubernur, gubernur bank sentral, anggota
legislatif pusat/daerah, menteri dan bahkan besan presiden yang sedang
berkuasapun dijatuhi hukuman akibat kasus korupsi.[10]
Negara
Bebas Korupsi Sebuah Utopia?
Mewujudkan
negara bebas korupsi merupakan slogan yang sering diusung oleh berbagai lembaga
anti-korupsi. Bahkan kebanyakan institusi tersebut mencantumkan “Negara bebas
korupsi” atau kalimat sejenis sebagai bagian dari visi, misi atau tujuan
organisasi mereka. Apakah mungkin kita mewujudkan suatu negara bebas korupsi?
Di Denmark dan Finlandia, negara yang pernah mendapatkan skor sempurna atau 10
pada Corruption Perception Index (CPI) tahun 1998, 1999 dan 2000, pun
korupsi masih saja terjadi walaupun tidak kasat mata. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa korupsi bisa ditekan, tetapi tidak bisa diberantas habis.
Sama
dengan virus influenza yang mempunyai puluhan ribu strain/jenis yang
terus berkembang dalam hal jumlah, korupsi juga memiliki ribuan modus yang
terus bertambah seiring dengan perkembangan jaman. Walaupun virus influenza
sebenarnya relatif mudah untuk dicegah, tetapi jumlah strain yang begitu
banyak membuat upaya pemberantasan menjadi mahal dan tidak praktis. Sebagai
gambaran, satu vaksin umumnya hanya bisa menahan satu atau beberapa strain
virus saja, sehingga untuk bisa benar-benar kebal terhadap influenza, seseorang
harus menerima ribuan injeksi vaksin; selain mahal, injeksi ribuan vaksin
tersebut dapat membahayakan jiwa si pasien.
Korupsi
tidak berbeda dengan virus influenza. Korupsi mempunyai berbagai modus dan
jenis dengan modus operandi yang berkembang seiring dengan kemajuan jaman.
Menekan korupsi hingga tingkat nol jelas tidak mungkin, mengingat biaya yang
sangat mahal, baik biaya finansial maupun non-finansial. Untuk mencapai tingkat
korupsi nol, barangkali setiap ruang harus dilengkapi dengan kamera, setiap
pembicaraan lewat telepon dan internet harus disadap, dan setiap rumah harus
diawasi oleh agen rahasia. Hal ini, selain mahal juga dapat menghilangkan
kebebasan individu, sesuatu yang tidak ternilai harganya.
Korupsi
tidak bisa ditekan ke level nol, tetapi dapat digiring menuju ke level optimal.
Secara teori upaya pemberantasan korupsi akan terus dilakukan hingga kerugian
yang ditanggung masyarakat akibat per-unit korupsi sama dengan biaya
memberantas per-unit korupsi. [11]
Ketika titik keseimbangan tersebut terjadi, pemberantasan korupsi umumnya
dihentikan, meninggalkan jumlah korupsi pada level optimum tertentu. Jumlah
titik optimal antar negara bervareasi. Hal ini dapat kita analogikan dengan
seorang pengusaha akan memproduksi barang terus menerus hingga marginal cost[12] sama
dengan marginal benefit[13].
Secara lebih detail, konsep ini diulas dengan pendekatan ekonomi yang lugas
oleh Ari Perdana, pada bagian lain buku ini.
Bagaimana
operasionalisasi dari konsep di atas? Strategi pemberantasan korupsi dalam
prakteknya dimulai dari korupsi-korupsi yang kasat mata dan mudah diberantas.
Dalam kata lain, pemberantasan difokuskan pada low hanging fruit dengan
biaya murah, relatif mudah dan kerugian akibat korupsi relatif tinggi.[14]
Sejalan dengan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi, low hanging fruit
akan semakin sulit didapatkan sehingga yang tertinggal adalah high hanging
fruit, yang relatif sulit untuk diberantas atau dalam terminologi ekonomi
disebut mempunyai marginal cost yang tinggi. Sebagian kalangan
mengacaukan fenomena low hanging fruit ini dengan fenomena tebang pilih
dalam pemberantasan korupsi. Dalam kata lain, memberantas korupsi di tahap awal
akan relatif mudah dengan hasil yang lebih terlihat, searah dengan keberhasilan
upaya pemberantasan korupsi, kita akan dihadapkan pada korupsi dengan tingkat
kesulitan pemberantasan yang lebih tinggi dan dengan biaya yang besar. Hal ini
merupakan alasan mengapa di negara “bersih” seperti negara-negara di
Skandinavia, korupsi tetap saja terjadi. Masyarakat tidak terlalu mempedulikan
upaya pemberantasan korupsi saat jumlah korupsi optimal tercapai, mengingat
kerugian yang ditanggung lebih rendah dari biaya yang harus dikeluarkan untuk
memberantasnya.
Model
Analisa Korupsi
Semenjak
korupsi bergeser dari isu pinggiran menjadi isu sentral dalam banyak diskurusu,
berbagai konsep pemodelan korupsi bermunculan. Pemodelan yang tepat akan
membantu kita, tidak hanya dalam memahami proses terjadinya korupsi, juga
membantu dalam upaya menekan tingkat korupsi.
Secara
prinsip menekan tingkat korupsi dapat dilakukan dengan menurunkan (menaikkan)
faktor-faktor yang mendorong (menghambat) terjadinya korupsi. Model merupakan
simplifikasi dari fenomena yang sesungguhnya. Kasus korupsi riil pastilah jauh
lebih kompleks, sehingga diperlukan proses adaptasi sebelum model diterapkan
dalam dunia nyata. Hal lain, model bersifat unik sehingga belum tentu model
yang tepat untuk suatu kasus korupsi dapat diimplementasikan dalam kasus yang
sama dilingkungan yang berbeda.
- a. Willingness and opportunity (keinginan dan kesempatan)
Korupsi
hanya akan terjadi jika dua hal terjadi secara bersamaan, yaitu adanya
keinginan untuk korup (willingness to corrupt) faktor yang sifatnya
internal tetapi bisa dipengaruhi oleh hal-hal eksternal dan kesempatan untuk
korupsi (opportunity to corrupt) faktor yang sifatnya eksternal.
Manusia
adalah makhluk ekonomi yang selalu berupaya memaksimalkan manfaat atas setiap
aktivitas dengan biaya seminimal mungkin. Ekonom menyebut fenomena ini sebagai utility
maximization, dalam banyak kasus prinsip ini sulit dibedakan dengan
fenomena selfish atau mengutamakan diri-sendiri. Selfish merupakan awal
munculnya sifat greed atau serakah, akar dari mentalitas korup. Dalam
kata lain, dalam diri manusia sesungguhnya sudah ada benih atau kecenderungan
untuk melakukan tindakan korup. Dalam bagian lain dari buku ini, Aan Rukmana
dan M. Subhi Ibrahim mengupas aspek moral dan religious terkait dengan korupsi.
Keinginan
untuk korup merupakan refleksi dari kualitas moral masing-masing individu.
Manusia bukanlah malaikat yang mempunyai moralitas tinggi yang stabil. Manusia
jujur pun bisa saja berbuat tidak jujur karena keterpaksaan. Dari sisi
reliabilitas, upaya pemberantasan korupsi yang menitikberatkan pada pembangunan
moral saja tidaklah reliable.
Selain
berfluktuasi, kualitas moral seseorang dapat berubah secara drastis seiring
dengan berjalannya waktu. Banyak koruptor yang ketika masih muda atau pada
periode awal kepemimpinannya adalah individu yang mempunyai integritas tinggi.
Seperti diulas di awal tulisan ini, banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat
secara demokratis karena mengangkat isu pemberantasan korupsi, tetapi jatuh
akibat kasus korupsi.
Opportunity
merupakan faktor kedua yang memungkinkan korupsi terjadi. Upaya menekan
kesempatan terjadinya korupsi bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem,
misalnya dengan menerapkan sistem yang lebih akuntable. Proses tender terbuka
terkait dengan pemesanan barang atau penentuan kontraktor merupakan contoh
klasik upaya tersebut. Contoh lain adalah menerapkan sistem pemungutan suara
terbuka di legislatif sehingga konstituen dapat melakukan pengawasan terhadap
para wakilnya dengan lebih baik.
Walaupun
sistem memegang peran penting terutama karena sifatnya yang lebih reliable,
akan tetapi tanpa dukungan individu yang bermoral tentunya hal ini akan
sia-sia. Sebagus apapun sistem yang dibangun, pihak-pihak yang bermoral korup
selalu saja dapat berkolusi untuk mengakali sistem yang sudah dibangun. The
man behind the gun memegang peran kunci. Di tangan polisi pistol bisa
menekan tingkat kejahatan, tetapi di tangan penjahat pistol akan menimbulkan
petaka.
- b. Model CDMA/V
Model
untuk menganalisa korupsi yang dianggap paling klasik dan populer adalah model
CDMA, yang sering dibahas oleh para pakar anti-korupsi, salah satunya Robert E.
Klitgard. Menurut model ini, korupsi (C) merupakan fenomena yang dipengaruhi
oleh tingkat diskresi (D), monopoli (M) dan akuntabilitas (A). Karena korupsi
mempunyai makna yang beragam di berbagai kebudayaan, faktor etika memegang
peranan penting. Berbagai riset terkait dengan Corruption Perception Index
(CPI) menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya menjelaskan 75 persen dari variasi
yang ada dalam CPI tersebut.[15]
Corruption
= f {(Discretionary + Monopoly – Accountability)/Values}[16]
b.1.
Discretionary (diskresi)
Discretionary
(diskresi) merupakan keluasan kewenangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin
untuk mengambil keputusan. Semakin tinggi posisi seorang pemimpin semakin
tinggi pula diskresi yang dimilikinya, dalam pengertian semakin banyak
keputusan yang harus dia ambil yang didasarkan pada kreativitas, justifikasi,
dan pemahaman si pimpinan; semakin besar diskresi semakin tinggi potensi
terjadinya korupsi.
Kepemimpinan
otoriter merupakan contoh kasus diskresi mutlak, di mana semua perundangan dan
birokrasi tunduk kepada keinginan pemimpin, akibatnya korupsi merupakan
fenomena yang hampir pasti kita temui. Hal ini diakibatkan oleh kaburnya batas
antara kepentingan individu pemimpin dan kepentingan negara, yang pada
gilirannya akan mengaburkan batas antara kekayaan individu pemimpin dengan
kekayaan negara.
Upaya
mengurangi dikresi dapat dilaksanakan dengan mengeluarkan job description
yang jelas kepada pejabat publik atau staf lainnya, diikuti dengan proses
approval yang sitematis sebelum keputusan diambil serta diakhiri dengan proses
monitoring dan evaluasi.
b.2.
Monopoly (monopoli)
Monopoli
atas produk atau jasa akan meningkatkan posisi tawar pemegang monopoli di
hadapan para klien atau konsumen. Dalam bidang ekonomi, pemegang monopoli
(produsen) dapat memanfaatkan posisi tawar tersebut untuk memaksimalkan
keuntungan, misalnya dengan menaikkan harga guna jual produk. Dalam pasar yang
monopolistis konsumen tidak mempunyai pilihan lain, sehingga kenaikan harga
tersebut tidak terlalu berkorelasi dengan volume penjualan barang dan jasa.
Menggunakan
logika berpikir yang sama, dalam pelayanan publik seperti pengurusan KTP, SIM,
IMB, dan ijin usaha, di mana institusi pemerintah memegang monopoli, pegawai
pemerintah dapat dengan mudah menyalahgunakan wewenang yang mereka miliki.
Penyalahgunaan yang mereka lakukan dapat berupa mengurangi jumlah, mengurangi
kualitas atau bahkan tidak memberikan layanan saya sekali. Singkatnya,
pelayanan hanya akan diberikan bagi mereka yang memberikan uang pelicin, atau
kualitas dan kecepatan layanan dipengaruhi oleh nilai suap yang diterima; hal
ini merupakan tindakan korup.
Salah
satu upaya untuk menekan korupsi adalah dengan mentransformasi monopoli menjadi
kompetisi. Dalam kasus kantor pelayanan publik misalnya, solusi yang mungkin
adalah dengan menyediakan beberapa kantor pelayanan publik, sehingga publik
mempunyai pilihan. Pada gilirannya, hal ini akan menurunkan posisi tawar
pegawai pemerintah dimata publik yang akan menurunkan tingkat korupsi.
b.3.
Accountability (akuntabilitas)
Makna
akuntabilitas umumnya terkait dengan pemberian hadiah. Boven memaknai
akuntabilitas sebagai kewajiban untuk menjelaskan dan menjustifikasi suatu
perbuatan atau keputusan yang diakibatkan oleh diskresi yang dimiliki oleh
seorang individu.[17]
Akuntabilitas adalah fungsi diskresi, artinya birokrat harus diberikan diskresi
terlebih dahulu baru kemudian dituntut untuk akuntabel terhadap bagaimana
mereka menggunakan diskresi yang dimilikinya.[18]
Masih menurut Boven, pejabat harus akuntabel dihadapan publik. Untuk
meningkatkan akuntabilitas tersebut, paling tidak tiga hal berikut terkait
dengan interaksi antara pejabat dengan publik harus terpenuhi: Pertama,
pejabat berkewajiban untuk melaporkan berbagai aktivitasnya kepada publik; kedua,
publik (melalui perwakilannya) mempunyai hak untuk menanyakan lebih lanjut
apabila terdapat data atau informasi yang belum cukup; ketiga, publik –
melalui wakilnya, mempunyai kekuasaan untuk menilai laporan tersebut, meliputi
menerima atau menolak laporan, mengkritisi kebijakan, dan secara terbuka
mengkritisi pejabat bersangkutan.
Variabel
yang mempengaruhi sukses tidaknya penerapan akuntabilitas di antaranya: (1)
Transparansi, yaitu keterbukaan bagi publik untuk menyelidiki, mengkritisi dan
menganalisis kebijakan publik; (2) akses, yaitu adanya akses bagi publik
terhadap informasi yang relevan, kapanpun, di manapun oleh siapapun dengan
biaya yang sangat rendah; (3) responsiveness, yaitu kecepatan dalam
melakukan follow up atas kritik, masukan dan pendapat dari publik; (4) kontrol,
yaitu berfungsinya kontrol yang ada dalam masyarakat – media, NGO, dll –
terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip akuntabilitas oleh pejabat publik; (5)
tanggungjawab, yaitu tanggungjawab pegawai dan pejabat publik untuk bekerja
secara professional sesuai dengan standar dan kode etik yang berlaku.[19]
Secara
sederhana, formula untuk membangun akuntabilitas adalah:
Akuntabilitas
= f{transparansi, akses informasi, responsiveness, kontrol, tanggungjawab}
b.4.
Values (nilai-nilai)
Values
atau nilai-nilai masyarakat, seperti materialism dan familism,
mempengaruhi bagaimana seseorang dalam menyusun prioritas hidupnya, temasuk
dalam memandang korupsi. Di Sisilia, Italia Selatan, masyarakat memandang
loyalitas terhadap keluarga sebagai sesuatu yang sangat penting. Pandangan ini
menyebabkan masyarakat Sisilia akrab dengan favoritism, yaitu
mementingkan kelompok tertentu terutama keluarga, yang ini merupakan akar
munculnya korupsi.[20]
Selanjutnya, Lipset dan Lenz menambahkan bahwa dalam masyarakat yang terlalu
mengagungkan kesuksesan materi, tetapi tidak memberikan kesempatan yang sama
kepada seluruh anggota masyarakat terhadap sumberdaya ekonomi, cenderung
memiliki tingkat korupsi yang tinggi.[21]
Selain
itu, nilai-nilai masyarakat yang mendorong self expression cenderung
mendorong terciptanya integritas di kalangan para birokrat, dalam kaitan dengan
korupsi, integritas pemerintah merupakan faktor kunci dalam menekan tingkat
korupsi. Standholz dan Tageepera melakukan survei terhadap tingkat korupsi di
negara-negara komunis dan non-komunis, dan menyimpulkan bahwa komunisme
mengakibatkan rendahnya self expression di kalangan masyarakat, sehingga
tingkat korupsi cenderung tinggi.[22]
Pendapat-pendapat tersebut menunjukan bahwa nilai-nilai yang dipercaya oleh
masyarakat memegang peran penting terhadap bagaimana masyarakat memandang
korupsi, serta bagaimana mereka memprioritaskan sukses secara materi dengan
keterlibatan dalam upaya memberantas korupsi. Hal ini merupakan justifikasi
untuk memasukkan faktor nilai-nilai dalam formula CDMA/V.
- c. Cost and Benefit Analysis (analisa biaya dan manfaat)
Manusia
adalah makluk rasional yang selalu mengambil tindakan berdasarkan insentif yang
diterimanya. Korupsi merupakan keputusan rasional dan kalkulatif para pelaku.
Koruptor memutuskan untuk melakukan korupsi jika insentif untuk korup lebih
besar daripada insentif untuk jujur, atau dalam kata lain biaya yang ditanggung
atas perbuatan korup lebih rendah dari pada manfaat yang diperoleh atas korupsi
yang dilakukan. Sebaliknya, apabila biaya lebih besar daripada manfaat yang
diperoleh, koruptor tidak akan melakukan tindakan korupsi. Rimawan Pradiptyo
mengulas secara lebih matematis permasalahan ini pada bagian lain dari buku
ini.
Singkatnya:
Korupsi dilakukan jika net benefit of corruption > 0; korupsi tidak
dilakukan jika net benefit of corruption < 0; Net benefit of
corruption (nilai manfaat bersih korupsi) yang merupakan selisih antara
manfaat dan biaya korupsi dapat diukur dengan rumus pendekatan sebagai berikut:[23]
Net
benefit of corruption = f {Manfaat financial, manfaat non financial, hukuman,
biaya sosial, kehilangan pekerjaan, kehilangan karir, perasaan tidak tenang
atau dosa, penurunan semangat kerja}
Tabel
1: Manfaat dan Biaya Korupsi (perspektif Koruptor)
Biaya
Korupsi
|
Manfaat
Korupsi
|
|
-
Pujian & ucapan terima kasih dari klien- Posisi sosial yang tinggi karena
dianggap berhasil secara materi- Perasaan solider dengan teman- Membalas
hutang budi kepada klien
|
Upaya
pemberantasan korupsi akan efektif apabila berbagai mekanime anti korupsi mampu
menekan manfaat korupsi dan pada saat yang bersamaan meningkatkan biaya bagi
pelaku.
Meningkatkan
biaya korupsi bagi pelaku bisa dilakukan dengan menaikan gaji pegawai,
memperberat hukuman bagi para koruptor, baik itu hukuman pidana maupun sangsi
lain berupa kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan berkarir dan kehilangan
pendapatan. Mempermalukan para koruptor di depan publik merupakan salah satu
alternatif untuk meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh koruptor.
Permasalahan
muncul manakala korupsi sudah begitu merajalela sehingga publik menganggap
korupsi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam kata lain biaya sosial
akibat aktivitas korupsi menjadi rendah yang pada gilirannya akan mempersulit
upaya pemberantasan korupsi. Tanpa upaya pemberantasan yang sistematis korupsi
akan benar-benar menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, yang terjadi
kemudian adalah jebakan korupsi (corruption trap) di mana tindakan korup
akan menciptakan korupsi yang lain yang akhirnya menurunkan biaya sosial akan
men-discourage praktek yang jujur.[24]
Upaya
untuk menurunkan manfaat korupsi, misalnya untuk kasus pelayanan publik, bisa
dilakukan dengan menurunkan biaya administrasi dan meningkatkan kecepatan
pelayanan publik. Peningkatan kualitas dan efisiensi ini akan menurunkan nilai
tawar para pejabat korup sehingga menurunkan biaya korupsi. Bahkan, ketika
proses pelayanan sudah sangat efisien dan nyaman, insentif untuk terlibat dalam
aktifitas korup baik dari sisi pejabat publik maupun masyarakat akan menurun
tajam.
Upaya
untuk menaikkan biaya dan menurunkan manfaat korupsi bagi koruptor tersebut
tidak akan optimal apabila probabilitas terungkapnya kasus korupsi sangat
rendah. Rendahnya probabilitas penangkapan dapat disebabkan oleh dua faktor,
yaitu: (1) tidak efektifnya mekanisme pengungkapan korupsi, dan (2) rendahnya
kapasitas mekanisme penangkapan korupsi. Walaupun mekanisme pengungkapan kasus
korupsi telah efektif, tetapi jika tidak ditunjang oleh kapasitas yang besar
maka jumlah korupsi baru akan lebih banyak daripada jumlah kasus yang
terungkap, sehingga probabilitias pengungkapan kasus korupsi tetap saja rendah.
Fenomena KPK dan Tipikor di Indonesia bisa menjelaskan kondisi tersebut di atas.
Terlepas dari kemampuan kedua institusi tersebut dalam mengungkap berbagai
kasus korupsi, keterbatasan kapasitas membuat begitu banyak kasus korupsi tidak
tertangani dengan baik.
- d. Supply and Demand
It
takes two to tango adalah ekspresi yang sering diungkapkan
untuk menggambarkan bahwa banyak aktifitas hanya bisa dilakukan apabila
terdapat dua pihak, sama halnya kalau kita ingin menari tango. Seluruh
aktifitas ekonomi juga tidak terlepas dari prinsip tersebut. Aktifitas ekonomi
hanya akan berjalan apabila ada supply atau produksi barang dan jasa,
dan ada demand yaitu kebutuhan dari para konsumen.
Fenomena
korupsi juga dapat dianalisa menggunakan prinsip tersebut. Korupsi identik
dengan jasa yang diperjualbelikan antara pembeli dan penjual, hanya saja,
korupsi merupakan produk yang merugikan siapapun yang tidak terlibat dalam
transaksi; dalam kata lain, korupsi dibangun di atas negative externalities,
yaitu kerugian yang harus ditanggung oleh orang lain.
Dalam
kasus korupsi birokrasi misalnya, birokrat berperan sebagai supplier
(produsen) jasa korupsi, sedangkan klien baik itu individu maupun perusahaan
swasta, berperan sebagai buyer (konsumen).[25]
Dalam suatu lingkungan tertentu, jumlah supply dan demand korupsi
akan berada dititik equilibrium, yang menentukan volume dan harga korupsi yang
diperdagangkan. Strategi pemberantasan korupsi yang efektif melibatkan upaya
dari sisi supply dan demand, yaitu upaya untuk menekan demand dan supply
korupsi.
Supply
dan Demand Korupsi
Diagram
2 menjelaskan upaya penurunan supply dan demand korupsi dimana
akan terlihat penurunan volume korupsi. Pada kondisi awal, sebelum upaya
pemberantasan korupsi dilaksanakan, supply korupsi berada sepanjang garis s1,
sedangkan demand korupsi berada pada sepanjang garis d1. Kedua garis
bertemu di e1, meninggalkan korupsi pada sebanyak q1 dengan harga
korupsi sebanyak p1, dengan kerugian langsung sebesar area 0-p1-e1-q1.
Ketika
upaya penurunan supply korupsi dilaksanakan, tanpa upaya penurunan demand,
garis s1 bergeser ke s2, garis d1 tetap, sehingga menggeser equilibrium
(titik keseimbangan) menuju e2* dengan harga korupsi mengalami kenaikan
menjadi p2* dan jumlah korupsi menjadi q2. Jumlah korupsi turun
tetapi harga korupsi mengalami kenaikan (birokrat menaikkan biaya korupsi
akibat risiko korupsi makin tinggi), sehingga kerugian langsung sebesar area 0-p2*-e2*-q2.
Sedangkan
ketika upaya penurunan demand korupsi dilaksanakan, tanpa upaya
penurunan supply, garis d1 bergeser ke d2, garis s1 tetap,
sehingga menggeser equilibrium menuju e2 dengan harga korupsi mengalami penurunan
(pengusaha makin takut/enggan menyuap, sehingga demand korupsi turun,
birokrat menurunkan harga korupsi untuk menarik perhatian supaya pengusaha
tetap terlibat dalam korupsi, dan mereka tidak kehilangan pendapatan tambahan)
menjadi p2 dan jumlah korupsi menjadi q2. Kerugian langsung
sebesar area 0-p2-e2-q2.
Penurunan
supply dan demand korupsi secara sendiri-sendiri akan menurunkan
jumlah kerugian langsung akibat korupsi, tetapi tidak menghasilkan penurunan
yang siknifikan, hal ini terlihat dari luasan 0-p2*-e2*-q2 dan luasan 0-p2-e2-q2
yang tidak jauh lebih kecil daripada luasan 0-p1-e1-q1.
Upaya
yang mengkombinasikan penurunan supply dan demand secara simultan
akan mampu menurunkan jumlah korupsi secara siknifikan. garis d1 bergeser ke d2,
garis s1 bergeser ke s2, sehingga menggeser equilibrium menuju e3
dengan harga korupsi menjadi p3. dan jumlah korupsi menjadi q3. Kerugian
langsung akibat korupsi mencapai 0-p3-e3-q3. Sangat siknifikan dibawah
kondisi semula yang digambarkan dengan luasan 0-p1-e1-q1.
Penjelasan
dalam box di atas menyimpulkan bahwa penurunan jumlah korupsi hanya akan
signifikan jika dilakukan secara bersama-sama dari sisi supply maupun demand.
Beberapa
strategi untuk mengurangi supply korupsi di antaranya: menerapkan merit
system pada birokrasi; meningkatkan gaji para birokrat; memperketat
peraturan dan mengawasi implementasinya; menerapkan kode etik; membuka pusat
aduan bagi publik dengan menjaga kerahasiaan pelapor (semacam whistleblower
rule); membentuk ombudsman; menerapkan citizen report card;
rotasi atau mutasi karyawan secara periodik untuk mencegah terciptanya korupsi
sistemik; serta memperberat hukuman bagi birokrat korup.
Sedangkan
strategi untuk mengurangi demand korupsi dapat dilakukan dengan cara:
menyederhanakan berbagai peraturan terkait dengan pelayanan publik; memberikan
penjelasan tentang prosedur pelayanan publik kepada masyarakat; membuka
beberapa kantor untuk jenis pelayanan yang sama (mendorong kompetisi);
mengurangi interaksi face to face antara publik dan pegawai pemerintah,
misalnya melalui pengembangan sistem online di website pemerintah; memperberat
hukuman bagi penyuap yang tertangkap; dan mengurangi pembayaran menggunakan
kas, diupayakan sebisa mungkin pembayaran melalui transfer, cek atau credit
card sehingga alur dana dapat dilacak.
- e. Principal Agent Problem
Principal-agent
problem sering disebut sebagai agency dilemma. Principal
didefinisikan sebagai pihak yang merupakan pemilik dari suatu institusi (beneficiary
holder), sebutlah perusahaan atau institusi pemerintah, sedangkan agent
adalah staf yang di tunjuk untuk mengelola dan menjalankan aktifitas. Problem
muncul ketika ada perbedaan kepentingan antara principal dan agen, dimana
principal bertujuan untuk mengembangkan bisnis atau melaksanakan kegiatan
secara efisien, sedangkan agent bertujuan untuk meningkatkan standar hidup
dirinya dan keluarganya.
Dalam
banyak kasus, tidak semua informasi yang dimiliki oleh agen juga dimiliki oleh
principal (inilah yang disebut dengan assimetric information) sehingga
sangat memungkinkan bagi agent untuk memanipulasi informasi untuk kepentingan
dirinya.
Principal
bisa mengurangi asymmetric information dengan menempatkan pengawas,
tetapi tentunya strategi ini mempunyai banyak keterbatasan, diantaranya adalah
biaya yang mahal. Selain itu, berapa jenis tugas tidak memungkinkan
dilaksanakannya pengawasan, terutama tugas-tugas yang melibatkan street
level bureaucrat, atau birokrat yang beroperasi di masyarakat[26];
misalnya polisi, agen rahasia, inteligent, pengawas pantai, polisi pengawas
hutan dan lain-lain. Ari Perdana dalam bagian lain dari buku ini mengupas
secara komprehensif fenomena agency dillema ini.
Principal
Agent Problem
Diagram
3: Diagram Principal-Agent Problem: Pilkada/Money Politic
Contoh
kasus terkait dengan Agency Dilemma misalnya adalah distribusi money
politic. Seorang kandidat gubernur (Principal 2) memberikan suap kepada
konstituen (Klien) untuk memilih dirinya dalam sebuah Pilkada. Dilema yang dia
hadapi adalah untuk meyakinkan bahwa dana yang dia siapkan benar-benar jatuh ke
tangan Klien. Dalam prakteknya sang kandidat tidak memberikannya langsung,
tetapi melalui tim kampanye (Agen 1) yang dia percaya, itupun dilakukan secara
diam-diam. Ketika Agen 1 dan Principal 2 mempunyai kepentingan yang sama, yaitu
dua-duanya benar-benar menginginkan agar Principal memenangkan Pilkada, maka
tidak akan muncul Principal-Agent problem. Tetapi ketika di Agen 1 dan
Principal mempunyai perbedaan kepentingan, misalnya Agent 1 memandang
kesejahteran dirinya jauh lebih penting daripada kemenangan Principal 2, maka
Agen 1 bisa saja menggelapkan sebagian uang tersebut.
Untuk
menghindari itu, Principal 2 bisa saja menunjuk mata-mata (Agen 2) untuk
melakukan random sampling untuk meyakinkan tidak terjadi penggelapan uang oleh
Agent. Problem Principal 2 adalah: Pertama, meyakinkan bahwa Agen 2
tidak berkolusi dengan Agen 1; kedua, melakukan hukuman bagi Agen 1
apabila terbukti melakukan penggelapan. Kesulitan yang dihadapi adalah sifat
transaksi yang ilegal sehingga tidak memungkinkan ditempuh jalur hukum.
Kalau
cerita dikembangkan lebih lanjut, Principal-Agent Problem sebenarnya
juga muncul antara Principal 1 (political investor atau pengusaha yang
mempunyai dana) dengan Principal 2, terkait dengan: Pertama, apakah
Principal 2 benar-benar menggunakan dana untuk money politic atau untuk
dirinya sendiri; kedua, apakah andaikata Principal 2 terpilih sebagai
gubernur, dia benar-benar akan memberikan konsesi tambang dan akses ekonomi
lainnya kepada dirinya? Salah satu solusi yang bisa diambil adalah dengan
merekrut mata-mata (Agen 3) yang mengecek apakah dana dari Principal 1
benar-benar sampai ke tangan Agen 1.
Kalau
kita kembangkan lebih lanjut, kasus tersebut akan membentuk semacam jaring yang
rumit dan luas, yang menggambarkan betapa banyak pihak yang terlibat dalam
Principal-Agent Problem terkait dengan isu Pilkada Gubernur, misalnya kalau
kita memasukkan pimpinan partai, pemerintah pusat, pemeimpin informal dan
barangkali militer dalam cerita tersebut di atas.
Hal
tersebut menunjukkan bahwa berbagai aktifitas korupsi sebenarnya saling terkait
satu sama lain. Penyelesaian terhadap satu kasus akan membongkar kasus lain
sehingga menyeret semakin banyak pihak didalamnya. Singkatnya, kasus korupsi
yang nampak sederhana di permukaan, sebenarnya merupakan kasus yang kompleks
yang melibatkan banyak pihak.
Dalam
banyak kasus kriminal, ketika Principal-Agent problem muncul, solusi
yang dipergunakan biasanya melalui jalan kekekrasan karena upaya hukum jelas
tidak mungkin diterapkan. Ini menjadi alasan, kenapa organized crime
sangat menjunjung tinggi loyalitas dan mengapa baku tembak antar genk narkoba
di Brazil, Nicaragua, Mexico dan lain-lain sering ditempuh sebagai jalan keluar
dari suatu masalah.
Pendekatan
yang mungkin dilakukan untuk menekan agency problem ini adalah dengan
menggunakan empat pendekatan, yaitu: lawyer approach, businessman approach,
economist/market approach dan cultural approach, yang akan dibahas
dalam sub-bab berikut ini.
Pendekatan
dalam Memerangi Korupsi
Saat
ini ada banyak teori tentang pendekatan dalam memberantas korupsi, tetapi
paling tidak ada empat pendekatan yang paling populer. Untuk memperoleh hasil
optimal, masing-masing negara harus memilih pendekatan yang paling tepat.
Pendekatan yang diambil, umumnya merupakan kombinasi dari beberapa pendekatan
yang dilaksanakan secara bersamaan dengan titik berat yang berbeda. Kondisi
kultur, politik dan struktur ekonomi menentukan kombinasi pendekatan yang
ideal.
- a. Lawyer Approach (pendekatan pengacara)
Pendekatan
ini mengedepankan penyusunan peraturan dan perundangan yang rinci dan jelas
yang dilengkapi dengan penegakan yang ketat. Institusi semacam kepolisian dan
lembaga pengadilan yang handal merupakan kunci sukses pendekatan ini. Contoh
negara yang menonjolkan pendekatan ini adalah Hong Kong dan Singapura, dua
negara di Asia yang termasuk dalam daftar negara yang relatif bersih dari
korupsi, padahal dua dekade lalu kedua negara termasuk sangat korup.[27]
Secara kebetulan kedua negara memiliki kesamaan, yaitu ukuran wilayah dan
jumlah penduduk yang kecil, sektor ekonomi utama adalah perdagangan, dan bukan
merupakan negara demokrasi.
Kendatipun
berhasil diterapkan di Hong Kong dan Singapura, cara yang sama belum
tentu akan sukses diterapkan di negara lain seperti India, Indonesia dan
Amerika Serikat. Di negara demokrasi, pendekatan ini bisa dinilai sebagai
kebijakan represif yang berpotensi mengundang protes dari rakyat. Selain itu,
menerapkan pendekatan pengacara untuk negara sekompleks India dan Indonesia
jelas bukan suatu tantangan yang mudah. Menggunakan terminologi carrot and
stick, pendekatan pengacara lebih mengedepankan penggunaan stick,
yaitu perangkat hukum untuk menjamin seluruh warga negara mematuhinya.
- b. Businessman Approach (pendekatan pengusaha)
Pendekatan
ini mengacu pada prinsip rational choice theory dimana manusia adalah
makluk rasional dan melakukan pilihan berdasarkan insentif yang diterimanya,
baik insentif yang bersifat finansial maupun non-finansial. Menurut pendekatan
ini, kejujuran bisa diciptakan dan setiap individu bisa diubah menjadi individu
jujur asal disediakan insentif yang sesuai; dengan memberikan insentif bagi
individu yang tidak melakukan korupsi diharapkan korupsi dapat ditekan.
Menggunakan
terminologi carrot and stick, pendekatan ini lebih menekankan pada
penggunaan carrot. Permasalahan utama pendekatan ini adalah bagaimana
menemukan insentif yang optimal, sehingga dengan nilai insentif tujuan minimal
dapat tercapai. Dalam banyak kasus, insentif tidak selalu berbentuk uang, bisa
dalam bentuk lainnya, seperti penghargaan, promosi dan lain-lain. Yang menjadi
isu utama dari pendekatan ini adalah: (1) bagaimana menentukan insentif yang
optimal, sehingga akumulasi insentif yang dikeluarkan jauh lebih rendah dari
akumulasi kerugian apabila korupsi terjadi; dan (2) bagaimana mengukur kinerja
masing-masing agent sehingga insntif bisa diberikan secara tepat.
- c. Market or economist approach (pendekatan pasar atau ekonom)
Berbeda
dengan pendekatan pengusaha dan pendekatan pengacara yang lebih mengedepankan
interaksi antara principal sebagai pihak pertama dan pegawai atau agen; serta
antara principal dengan klien atau masyarakat sebagai pihak kedua, digambarkan
dalam diagram 4 sebagai interaksi (a) dan (b). Pendekatan pasar memanfaatkan
dinamika interaksi pihak kedua, yaitu antar sesama agen atau antar sesama
klien, digambarkan dalam diagram 4 sebagai interaksi (c). Pada prinsipnya,
pendekatan pasar mencoba menciptakan kompetisi antara para agen dan antara
klien, sehingga mereka berlomba-lomba untuk memperbaiki kinerjanya.
Salah
satu titik krusial yang menentukan sukses tidaknya pendekatan pasar adalah
bagaimana menciptakan kompetisi yang sehat antar sesama pegawai pemerintah dan
antar sesama klien, karena bisa jadi kompetisi yang terjadi bukanlah kompetisi
yang saling menjatuhkan dan justru akan merusak sistem yang ada.
- d. Cultural approach (pendekatan budaya)[28]
Para
ilmuwan sosial mendefinisikan kebudayan sebagai warisan sosial yang bersifat
mental atau non-fisik, yang meliputi sistem nilai. Menurut Clyde Kluckhon,
kebudayaan merupakan sistem ide, pengetahuan, dan acuan bagi manusia untuk
menjalani kehidupan. Kebudayaan adalah cara berfikir, cara merasa, cara
meyakini, dan cara menganggap. Seiring dengan itu, Parsudi Suparlan
mendefinisikan kebudayaan sebagai pedoman yang berasal dari pengalaman
kehidupan masyarakat tertentu yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan akan
kebenaran yang secara selektif dimanfaatkan untuk menghadapi lingkungan dalam
memenuhi kebutuhan hidup. [29] Will
Durant menyatakan bahwa kebudayaan berkaitan dengan kejiwaan dan kerohanian
manusia, sementara itu Oswald Spengler mendefinisikan, kebudayaan sebagai apa
yang manusia dambakan, yang tercermin dalam kehidupan rohaniah seperti seni,
bahasa, sastra, aliran pemikiran dan falsafah, nilai-nilai moral, dan
spiritulitas.[30]
Mengacu
pada penjelasan di atas, budaya memberikan kerangka berpikir bagi manusia.
Sesuatu dapat dipersepsikan salah atau benar tergantung dari sudut pandang (mindset)
yang dipergunakan dan sudut pandang sangat dipengaruhi oleh budaya. Sebagai
contoh, judi, minuman keras dan bunuh diri bukanlah sesuatu yang harus
dihindari dalam budaya beberapa bangsa, tetapi merupakan aib besar bagi budaya
bangsa Indonesia. Fenomena tersebut mempertegas peran penting budaya dalam
mempengaruhi pola pandang dan respon seseorang terhadap sesuatu.
Terkait
dengan pemberantasan korupsi, pendekatan budaya berpotensi untuk mempengaruhi
sudut pandang masyarakat. Di satu sisi, walaupun relatif merupakan pendekatan
yang efisien dari sisi pendanaan, pendekatan budaya sulit diharapkan dapat
memberikan hasil dalam waktu singkat. Akan tetapi apabila pendekatan ini
berhasil, maka akan memberikan dampak jangka panjang. Ketika masyarakat
menganggap korupsi sebagai aib, mereka akan turut berperan dalam menekan
tingkat korupsi. Peran tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai tindakan, dari
yang paling sederhana misalnya dengan menghindarkan diri dari upaya menyuap
polisi atau pegawai kecamatan, hingga turut membongkar kasus korupsi dengan
berperan sebagai whistleblower. Pendekatan budaya dapat
dilaksanakan melalui pendidikan baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Pesan-pesan moral bisa dititipkan dalam berbagai kesenian daerah seperti wayang
kulit, ludruk, film, poster dll. Idealnya, pendekatan budaya dimulai sedini
mungkin, sehingga peran keluarga dan pendidikan dasar sangat krusial bagi
sukses tidaknya pendekatan ini.
Satu
titik krusial pendekatan budaya adalah menemukan cara agar upaya pemahaman
tersebut tidak dilaksanakan secara formal dan kaku, tetapi melalui pendekatan
yang cair dan informal (masyarakat tidak merasa terpaksa) serta dilakukan oleh
tokoh-tokoh yang telah teruji. Kegagalan Penataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Penataran P4) yang menggunakan pendekatan formal dan
terkadang represif harus dijadikan pelajaran. Penataran tersebut bukannya
menciptakan masyarakat yang semakin menjunjung tinggi dalam mengamalkan
Pancasila, tetapi justru membuat Pancasila kurang populer, terutama di kalangan
anak muda. Problem lain dari Penataran P4 adalah kurang kredibelnya para tokoh
yang dijadikan panutan, di mana mereka pada satu sisi mendorong
nilai-nilai luhur, tetapi di sisi lain ikut terlibat dalam berbagai kasus
korupsi.
Tabel
berikut menggambarkan aplikasi dari keempat pendekatan tersebut dalam menekan
tingkat korupsi, dengan mengambil contoh kantor pajak. Target utama adalah
untuk menaikkan pendapatan dari pajak, dengan biaya seminimal mungkin.
Tabel
2: Menekan Korupsi di Kantor Pajak dengan menggunakan Kombinasi Pendekatan
Pengacara, Pengusaha, Pasar dan Budaya
Pendekatan
|
Target
Pendekatan
|
|
Kantor/Petugas
Pajak
|
Publik
(Klien)
|
|
Lawyer
Approach
|
|
|
Businessman
Approach
|
|
|
Market/economist
Approach
|
|
|
Cultural
Approach
|
|
|
Korupsi
sebagai Gejala (Symptom) & Penegakan Sistem Integritas
Di
tengah gencarnya diskusi yang menganggap korupsi sebagai problem politik dan
ekonomi, sebagian kalangan mengangkat isu baru yang menganggap korupsi sebagai symptom
atau gejala-gejala, bukan problem itu sendiri. Pandangan ini menganggap problem
yang sesungguhnya adalah lemahnya integritas baik itu di sektor publik maupun
sektor privat.
Kedua
pandangan tersebut sebenarnya tidak berbeda secara substansi, mereka mempunyai
tujuan utama yang sama yaitu memberantas korupsi. Kedua pandangan juga sepakat
terhadap faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab korupsi dan apa saja
akibat yang ditimbulkan. Perbedaan hanya pada cara pandang saja, yang akan
berpengaruh pada strategi pemberantasan korupsi.
Menganalogikan
dengan sakit flu, korupsi sebenarnya merupakan panas tinggi yang merupakan
gejala influenza. Upaya pencegahan dengan memberikan obat penurun panas tentu
tidak memecahkan masalah yang sesungguhnya, tetapi hanya menghilangkan gejala
untuk sementara saja. Solusi yang terbaik adalah dengan meningkatkan kekebalan
tubuh melalui istirahat yang cukup dengan mengkonsumsi banyak vitamin.
Demikian juga dengan korupsi, solusi yang terbaik adalah dengan menegakan
integritas di berbagai aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Penegakan
integritas bertujuan untuk meningkatkan resiko perilaku korup, yang pada
gilirannya akan mengurangi keinginan untuk korup. Mengingat korupsi cenderung
menjadi masalah sistemik, pendekatan dilakukan dengan fokus pada perbaikan
sistem, bukan dengan menghukum atau menyalahkan pelaku tindak korupsi.[31]
Upaya
meningkatkan integritas tersebut sebaiknya difokuskan pada beberapa komponen
utama yang merupakan pilar utama integritas nasional. Menurut Global Integrity
(www.globalintegrity.org)[32], ada
enam pilar utama seperti digambarkan dalam diagram 5 berikut ini:
Diagram
5: Enam Pilar Utama Sistem Integritas Nasional[33]
Sumber:
Diolah dari Global Integrity Score Card
Upaya
penguatan masing-masing pilar bisa dilakukan dengan memperbaiki dan memperkuat
komponen dari pilar bersangkutan.[34]
- a. Masyarakat Madani, Informasi Publik & Media:
Upaya
penguatan pilar pertama ini bisa dilakukan dengan mendorong dan memberikan
kebebasan kepada masyarakat untuk berkumpul dan berorganisasi melalui berbagai
NGO dan organisasi masyarakat lainnya. Walaupun demikian, NGO pun perlu diatur,
bukan dalam aspek ide, tetapi dalam aspek administrasi pelaksanaan kegiatan
untuk mewujudkan standar operasional dan pelaporan yang tinggi. Hal ini
diperlukan untuk menjaga integritas NGO dimata publik dan donor.[35]
Publik juga perlu mendapatkan akses terhadap informasi terkait dengan kegiatan
dan program pemerintah, termasuk aspek keuangan. Kebebasan press perlu dijamin,
dengan memberikan perlindungan bagi insan pers maupun institusi media. NGO dan
media, dengan dukungan informasi dari pemerintah, akan berfungsi sebagai
pengawas yang efektif bagi pemerintah.
- b. Pemilihan Umum:
Pemilihan
umum merupakan komponen penting integritas nasional, karena pemilu merupakan
proses seleksi kader terbaik untuk mewakili warganegara dalam proses politik
dan kebijakan publik. Pemilu hendaknya memberikan kesempatan bagi seluruh
masyarakat untuk memilih dan berpartisipasi secara bebas dalam proses pemilu,
yang dilakukan secara periodik. Prosedur pemilu harus transparan dan dikelola
oleh pihak independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah atau kelompok
tertentu.
Menurut
Global Integrity, peraturan serta implementasi yang buruk tentang pendanaan
politik merupakan problem governance utama di banyak negara. Problem ini
tidak terkait dengan pendapatan per-capita suatu negara, baik negara kaya
maupun negara miskin mengalami tantangan yang sama. Hanya bedanya, di negara
miskin tantangan lebih kepada aliran dana perusahaan atau pemerintah asing
kepada partai politik atau pimpinannya, dengan imbalan konsesi ekonomi yang
menguntungkan. Transparansi tentang aliran dana politik merupakan sesuatu yang
urgen.[36]
Dalam bagian lain dari buku ini, secara komprehensif Bima Arya menulis tentang
sulitnya menerapkan transparansi dan akuntabilitas dana politik dan sumbangan
kampanye, dan betapa hal ini telah menurunkan kualitas demokrasi.
- c. Akuntabilitas Pemerintah
Boven
menjelaskan bahwa akuntabilitas pemerintah merupakan landasan bagi good
governance. Awalnya, akuntabilitas merupakan terminologi akuntansi,
sekarang makna itu telah meluas.[37]
Adalah menjadi tanggung jawab institusi dan pejabat publik untuk menjelaskan
bagaimana mereka mengambil keputusan dan melaksanakannya demi kepentingan
publik, klien yang sebenarnya merupakan ultimate principal yang
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Prinsip utama akuntabilitas pemerintah
adalah menekan asymmetry information, yang merupakan sumber korupsi.
Akuntabilitas pemerintah sangat penting untuk memungkinkan proses demokrasi
berjalan dengan baik, karena publik mendapatkan informasi yang cukup tentang
kinerja pemerintah untuk mengontrol dan memonitor kinerja mereka, melalui
proses demokrasi (pemilu); serta menghindari penyalahgunaan wewenang oleh para
pejabat publik.[38]
Tujuan akhir dari akuntabilitas pemerintah adalah untuk memastikan bahwa uang
pajak dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal dan efektif untuk kepentingan
masyarakat.
- d. Administrasi Birokrasi
Beberapa
komponen penting dari administrasi birokrasi di antaranya adalah kualitas
peraturan – serta implementasinya, salah satunya adalah whistleblower policy,
mengingat whistleblower dalam banyak kasus merupakan awal dari
terungkapnya kasus korupsi. Selain itu, sistem dan implementasi procurement
yang transparan, fair dan akuntabel memegang peran penting, mengingat procurement
merupakan proses dalam pemerintahan yang rawan manipulasi dan korupsi.
Peraturan tentang kepegawaian idealnya menerapkan merit system dengan
ketentuan yang jelas dan transparan diterapkan di berbagai level dan sektor
birokrasi. Terkait dengan privatisasi, ketentuan yang transparan, jelas dan
fair memegang peran penting dalam menegakan integritas di bidang administrasi
birokrasi, sebab di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, privatisasi
nampaknya merupakan fenomena yang akan terus terjadi di masa mendatang.
- e. Pengawasan dan Peraturan
Peraturan
memberikan acuan tentang bagaimana sesuatu harus dilakukan. Umumnya berisi
tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan, serta koridor dan acuan
yang memberikan petunjuk tentang bagaimana sesuatu diterapkan. Aturan yang baik
adalah aturan yang lengkap dan bisa diterapkan oleh para stakeholder;
yang tidak kalah penting, peraturan harus diawasi pelaksanaannya melalui
mekanisme kontrol yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari setiap peraturan
yang ada. Mekanisme kontrol mendorong kebiasaan yang beretika dengan
menciptakan situasi dimana tidakan tidak etis sulit untuk dilaksanakan dan
mudah untuk terdeteksi. [39]
Terkait dengan monitoring dan pengawasan, ombudsman dan supreme audit merupakan
dua institusi yang mempunyai peran penting. Ombudsman menyediakan akses bagi
publik untuk melaporkan segala ketidakberesan dan penyimpangan birokrasi yang
mereka temui, sedangkan supreme audit (misalnya Badan Pemeriksa Keuangan, BPK)
memberiksa laporan keuangan institusi tertentu di bawah pemerintah.
Permasalahan menjadi semakin rumit ketika di kedua lembaga tersebut terdapat
juga praktek korupsi, sehingga integritas kedua lembaga merupakan prasyarat
efektivitas fungsi pengawasan.
- f. Anti Korupsi & Peraturan/Perundangan
Terkait
dengan isu korupsi, UU anti-korupsi mempunyai peran penting sebagai landasan
bagi upaya pemberantasan korupsi. Undang-undang tersebut hanya akan efektif
apabila didukung oleh komisi yang kapabel dalam memberantas korupsi sekaligus
memiliki integritas tinggi. Sebaliknya, UU bersangkutan haruslah memberikan
kekuasaan yang cukup dan menjamin independensi komisi anti korupsi. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia sebenarnya mempunyai kedua persyaratan
tersebut. Terlepas dari beberapa kesalahan yang dilakukan oleh beberapa
pejabatnya, secara institusi sebenarnya kinerja dan keberadaan KPK merupakan
langkah maju bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, apalagi jika isu terkait
dengan landasan hukum Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) berhasil
dituntaskan.
UU
dan komisi pemberantasan korupsi merupakan satu aspek kecil dari penegakan
hukum dalam arti luas. Terkait dengan pengembangan integritas nasional, hukum
dalam arti luas mempunyai peran yang jauh lebih penting. Tantangan dalam
menegakkan hukum di banyak negara yang menerapkan hukum kontinental – termasuk
Indonesia, di antaranya adalah hukum yang tidak mampu mengejar perubahan dunia
politik dan ekonomi nasional dan internasional. Selain itu, perangkat hukum
yang dipertanyakan integriras serta kapabilitasnya merupakan tantangan
tersendiri. Di Indonesia, berdasarkan survei Global Corruption Barometer oleh
TI, tiga komponen utama terkait dengan penegakan hukum, yaitu legislatif
(pembuatan peraturan dan perundang-undangan), kepolisian dan kehakiman
(penegakan hukum) dalam beberapa tahun terakhir secara konsisten merupakan tiga
institusi yang paling korup di Indonesia.[40]
Tentunya integritas ketiga institusi tersebut harus ditegakkan sebelum kita
menegakkan integritas nasional karena ketiganya merupakan pilar penting, bahkan
termasuk yang terpenting.
Penutup
Korupsi
merupakan permasalahan utama banyak bangsa di dunia. Korupsi tidak saja
menyebabkan kemiskinan akibat target-target pembangunan yang tidak berhasil dan
tujuan pembangunan yang dibelokan untuk kepentingan kelompok tertentu. Korupsi
merupakan salah satu jawaban utama mengapa negara-negara di Afrika dan berbagai
belahan dunia lainnya mengalami kemunduran disaat bangsa-bangsa dibelahan lain
mengalami kemajuan pesat.
Dalam
dua puluh tahun terakhir terjadi pergeseran paradigma tentang korupsi di banyak
bangsa di dunia. Bahkan dalam sepuluh tahun terakhir bangsa-bangsa
didunia mulai mengeluarkan sejumlah aksi bersama dan terintegrasi dalam melawan
korupsi. Hal ini merupakan perkembangan yang sangat menggembirakan mengingat
korupsi merupakan permasalahan antar negara dan hanya dengan kerjasama antar
negara pula korupsi bisa diberantas. Walaupun demikian, tidak secara otomatis
korupsi mampu ditekan, mengingat paradigma yang benar adalah satu bagian kecil
saja dari rantai panjang pemberantasan korupsi yang terdiri dari penentuan
strategi yang tepat, serta eksekusi yang benar oleh pihak-pihak yang tepat.
Bagi
Indonesia, korupsi tidak saja merupakan problem ekonomi dan politik, tetapi
juga merupakan problem budaya. Selama puluhan tahun, berbagai lembaga
internasional telah menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup. Terlepas
dari fakta yang memberikan justifikasi atas fenomena itu, hal ini tentunya
telah mengusik kebanggaan kita sebagai bangsa. Hal ini seharusnya menggugah
semangat kita untuk memerangi korupsi secara lebih serius.
Beberapa
negara telah berhasil menekan tingkat korupsi secara mengagumkan. Tentunya
prestasi mereka tersebut merupakan inspirasi bagi bangsa-bangsa lain. Ada
banyak hal yang bisa dipelajari dari sukses tersebut termasuk tentang strategi
pemberantasan yang mereka terapkan. Kendatipun demikian, korupsi merupakan
permasalah yang unik dimana best practice di suatu negara bisa jadi
kontarproduktif jika diterapkan di negara lain. Berbagai penyesuaian perlu
dilakukan untuk mengoptimalkan startegi pemberantasan korupsi.
Semangat
tinggi dan kemauan politik merupakan modal penting melawan korupsi, tetapi
tanpa pengetahuan yang komperhensif tentang korupsi dikhawatirkan upaya
pemberantasan tidak akan optimal dan negara bersangkutan akan kehabisan
resources sebelum korupsi benar-benar diberantas. Inilah mengapa pemberantasan
korupsi harus menggunakan metode yang tepat, sehingga para “pejuang
anti-korupsi” harus benar-benar MEMAHAMI KORUPSI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar