Kamis, 23 Februari 2012

Asal Mula Korupsi


Pendahuluan
Korupsi dalam sejarah manusia bukanlah hal baru. Ia lahir berbarengan dengan umur manusia itu sendiri. Ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, di sanalah awal mula terjadinya korupsi. Penguasaan atas suatu wilayah dan sumber daya alam oleh segelintir kalangan mendorong manusia untuk saling berebut dan menguasai. Berbagai taktik dan strategi pun dilaksanakan. Perebutan manusia atas sumber daya alam dan politik inilah awal mula terjadinya ketidakadilan. Padahal kebutuhan untuk bertahan hidup kian menanjak, tapi kesempatan untuk memenuhinya semakin terbatas. Sejak saat itu moralitas dikesampingkan. Orientasi hidup yang mengarah pada keadilan berubah menjadi kehidupan saling menguasai dan mengekploitasi. Di dalam sejarah, kita dapat menemukan banyak catatan yang terkait dengan kondisi tersebut.
Di India korupsi sudah menjadi permasalahan serius sejak 2300 tahun yang lalu, hal ini terbukti dengan adanya tulisan seorang perdana menteri Chandragupta tentang 40 cara untuk mencuri kekayaan negara.[1] Kerajaan China, pada ribuan tahun yang lalu telah menerapkan kebijakan yang disebut Yang-lien yaitu hadiah untuk pejabat negara yang bersih, sebagai insentif untuk menekan korupsi. Tujuh abad silam, Dante menyebutkan bahwa para koruptor akan tinggal di kerak neraka dan Shakespeare mengangkat tema-tema korupsi dalam berbagai karyanya.[2] Pada abad ke-14 Abdul Rahman berpendapat bahwa akar korupsi adalah keinginan hidup bermewah-mewah dikalangan elit pemegang kekuasaan, sehingga mereka menghalalkan berbagai cara untuk membiayai gaya hidup mereka. [3] Plato dalam bukunya The Laws menyatakan bahwa“The servants of the nations are to render their services without any taking of presents…..To form your judgment and then abide by it is no easy task, and “tis a man”s surest course to give loyal obedience to the law which commands, “Do no service for a present”.”[4]
Di Indonesia, korupsi mulai terjadi sejak jaman kerajaan. Bahkan VOC bangkrut pada awal abad 20 akibat korupsi yang merajalela di tubuhnya. Setelah proklamasi kemerdekaan, banyak petinggi  Belanda yang kembali ke tanah airnya, posisi kosong mereka kemudian  diisi oleh kaum pribumi pegawai pemerintah Hindia Belanda (ambtenaar) yang tumbuh dan berkembang di lingkungan  korup. Kultur korupsi tersebut berlanjut hingga   masa pemerintah Orde Lama. Di awal pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto melakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi. Terlepas dari upaya tersebut, Presiden Soeharto tumbang karena isu korupsi. Perjalanan panjang korupsi telah membuat berbagai kalangan pesimis akan prospek pemberantasan korupsi, baik di Indonesia maupun  di berbagai belahan dunia.
Dalam dua dekade terakhir, dunia mulai memandang korupsi sebagai isu penting.  Berbagai inisiatif untuk memerangi korupsi dilakukan mulai dari  tingkat nasional, regional hingga level internasional. Pandangan bahwa korupsi mendorong pertumbuhan ekonomi mulai ditinggalkan banyak kalangan. Korupsi dipandang bukan hanya sebagai permasalahan moral semata, tetapi sebagai permasalahan multidimensional (politik, ekonomi, social dan budaya).Perubahan cara pandang dan pendekatan terhadap korupsi, yang diikuti dengan menjamurnya kerjasama antar bangsa dalam isu ini menyemai optimisme bahwa perang melawan korupsi adalah perang yang bisa kita menangkan.
Tulisan ini disusun untuk menyamakan sekaligus mempertajam kerangka berpikir guna membantu para pembaca dalam menyelami bab-bab selanjutnya. Tulisan ini terdiri dari beberapa bagian dan mengupas berbagai isu korupsi mulai dari pengertian korupsi, pergeseran cara pandang dunia terhadap korupsi, tipologi korupsi dan model-model analisa tentang korupsi.  Selain itu, akan didiskusikan juga alternatif pendekatan untuk menekan tingkat korupsi. Diakhir akan diulas perlunya membangun integritas di berbagai aspek kehidupan bangsa (integritas nasional) sebagai langkah untuk memberantas korupsi.
Apa itu Korupsi?
Apabila kita mengunjungi website Webster Dictionary dan meng-klik kata corruption, definisi yang muncul adalah “immoral conduct or practices harmful or offensive to society atau a sinking to a state of low moral standards and behavior (the corruption of the upper classes eventually led to the fall of the Roman Empire).”[5]
Definisi tersebut terlalu luas dan kurang bermanfaat untuk dijadikan pijakan dalam membahas korupsi sebagai permasalahan multidimensi (politik, ekonomi dan sosial-budaya).
Definisi lain dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan UNDP, adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.[6] Definisi ini merupakan konsensus yang banyak diacu para pakar di bidang anti-korupsi. Walau demikian, definisi ini  belum sempurna meski cukup membantu dalam membatasi  pembicaraan tentang korupsi. Beberapa kelemahan definisi tersebut di antaranya bias yang cenderung memojokkan sektor publik, serta definisi yang tidak mencakup tindakan korupsi oleh privat walaupun sama-sama merugikan publik.
Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu: (1) Seseorang memiliki kekuasaan termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan tersebut, (2) Adanya economic rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada sebagai akibat kebijakan publik tersebut, dan (3) Sistem yang ada membuka peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang bersangkutan. Apabila  satu dari ketiga parameter ini  tidak terpenuhi, maka tindakan yang terjadi tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsi.[7]
Secara umum, tindakan illegal seperti penggelapan pajak dan penyelundupan  selama tidak melibatkan pejabat publik tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi, padahal secara tidak langsung tindakan ini merugikan publik karena mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak. Dalam studi Lambsdorff disebutkan bahwa besarnya proporsi budget pemerintah terhadap GDP suatu negara berkorelasi positif terhadap tingkat korupsi[8], barangkali definisi korupsi yang bias pada sektor publik merupakan salah satu jawabannya.
Definisi tersebut juga menyamaratakan korupsi di negara yang menganut sistem kerajaan dan demokrasi. Dalam negara kerajaan, raja mempunyai wewenang untuk mengatur distribusi kekayaan negara bagi rakyat, karena pada prinsipnya tidak ada pemisahan antara kekayaan negara dan kekayaan pribadi raja. Sebagai contoh, seorang raja  bisa saja menggunakan uang kerajaan untuk urusan pribadi dan ini tidak diangap sebagai tindakan korupsi. Tindakan yang sama akan menjadi kasus korupsi besar apabila terjadi di negara demokrasi. Pertanyaannya, apabila sebuah negara demokrasi dengan tingkat korupsi tinggi mentransform diri menjadi negara kerajaan, apakah berbagai kasus korupsi akan terselesaikan atau dianggap selesai? Menggunakan definisi korupsi yang ada dan alat ukur yang kita miliki saat ini, bisa jadi jawaban dari pertanyaan tersebut adalah ya.
Transparansi Internasional mempunyai definisi yang lebih fleksibel tentang korupsi, yaitu “penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan orang lain, untuk kepentingan pribadi”. Di sisi lain, Indonesia juga telah mengambil langkah maju dalam mendefiniskan tindak korupsi, dimana jenis tindakan yang termasuk dalam kategori korupsi diperluas, bahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencantumkan daftar 29 perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai korupsi, baik melibatkan maupun tidak melibatkan pejabat publik. Informasi tentang ke-29 perbuatan tersebut, tercantum dalam tulisan Saldi Isra dan Eddy OS. Hiariej dalam bagian lain dari buku ini.

Pergeseran Pandangan Tentang Korupsi
Pandangan tentang korupsi mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Debat tentang apakah korupsi mampu meningkatkan efisiensi ekonomi cukup mendominasi diskursus tentang korupsi pada periode 1970-an dan awal 1980-an.
Salah satu prinsip yang dianut oleh sebagian kalangan saat itu adalah “grease –the –wheel”. Korupsi dipandang oleh para “corruption apologist” sebagai minyak pelumas sistem ekonomi yang tidak berjalan secara efisien akibat tidak berfungsinya birokrasi dikombinasikan dengan peraturan pemerintah yang tumpang tindih.[9] Dalam kondisi ini, suap dipandang sebagai insentif bagi pegawai publik untuk melayani klien dengan sebaik-baiknya. Ari Perdana, pada bagian lain dari buku ini mengulas bahwa korupsi baru bermanfaat ketika birokrasi benar-benar tidak berfungsi sehingga perlu pelumas. Hal ini bukanlah kondisi ideal bagi mesin ekonomi untuk bekerja, tetapi merupakan second best saja. Dalam kata lain, kondisi ini lebih baik daripada mesin ekonomi tidak berjalan sama sekali. Grease perlu diberikan supaya “roda” (baca: mesin ekonomi) yang macet karena “karatan” bisa berputar. Idealnya, kita menjaga agar “roda” tersebut tidak “karatan”, sehingga tanpa minyak pun bisa berputar tanpa hambatan.
Dalam dua puluh tahun terakhir, cara pandang dunia terhadap masalah korupsi mengalami perubahan drastis. Korupsi dipandang sebagai masalah, dan penanganan korupsi mulai menjadi perhatian dunia. Berbagai faktor yang mendorong perubahan paradigma tersebut adalah:
Pertama, berakhirnya perang dingin. Pada masa perang dingin, bantuan luar negeri lebih bersifat ideologis daripada ekonomis dan ditujukan untuk mengikat negara berkembang supaya tidak beralih kepada blok lawan. Dalam kata lain, donor asing cenderung tidak menempatkan kualitas program, alokasi dana dan tata kelola yang baik pada saat implementasi sebagai faktor pertimbangan utama diberikannya dana, sehingga kebocoran merupakan efek yang tidak bisa dihindari. Keruntuhan Uni Soviet yang mengakhiri perang dingin  merubah praktek tersebut. Donor asing lebih pragmatis dan menuntut agar dana dipergunakan secara efisien dan akuntable. Isu pemberantasan korupsi mulai mengemuka di kalangan donor asing.
Kedua , kejatuhan presiden Filipina, Ferdinand Marcos[10], oleh people power pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya, 1986.[11] Dunia tidak pernah menduga bahwa kejatuhan Marcos akan terjadi demikian cepat. Korupsi yang sangat kronis membuat rakyat Filipina mulai gerah hingga mendorong  munculnya berbagai protes. Awalnya protes kecil, tetapi menjadi  masal berkat peran gereja-gereja sebagai simpul mobilisasi masa (saat itu SMS, e-mail dan Facebook belum populer). Ketika kardinal Sin merestui demo tersebut, protes menjadi semakin masif dan berskala nasional. Pemberitaan oleh berbagai media, seperti BBC dan CNN, membuat dunia turut memberikan tekanan kepada Marcos untuk mundur. Kejadian ini merupakan momentum penting bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia karena dianggap sebagai gerakan  murni yang berasal dari, dilakukan oleh dan untuk rakyat – dalam banyak kasus rakyat sering dijadikan sebagai “kendaraan”  aktor politik tertentu. Kejadian ini juga mengirimkan pesan yang kuat bagi para penguasa korup di seluruh dunia tentang resiko atas tindakan mereka. Secara tidak langsung, peristiwa tersebut juga menginspirasi masyrakat dunia agar lebih berani bertindak. Kejadian di Filipina, secara tidak disadari, diikuti oleh upaya pemberantasan korupsi di berbagai belahan dunia, termasuk Spanyol, Itali, Perancis, Jepang, Meksiko dan beberapa negara Amerika Latin lainnya.
Ketiga, kegagalan konsep pembangunan di banyak negara berkembang, terutama di Afrika. Terlepas dari konsep pembangunan yang disusun secara komprehensif dengan nilai program miliaran dollar, hasil pembangunan ternyata jauh dari harapan. Bahkan, indikator makroekonomi, dan kualitas hidup penduduk Afrika justru semakin terpuruk dari waktu ke waktu.[12] Paul Collier dalam  “The Bottom One Billion” menyebutkan bahwa 80 persen dari satu miliar penduduk termiskin dunia berada di 50 failing states yang kebanyakan berada di Afrika. Masih menurut Collier, kemiskinan tersebut disebabkan oleh empat jebakan yang bersifat fundamental, yaitu: (1) konflik horizontal, (2) land-lock countries[13] dengan tetangga yang kurang kondusif – negara-negara korup dan penuh konflik, (3) kekayaan alam berlimpah – yang dikelola secara korup dan tidak untuk kepentingan rakyat, dan (4) pemerintahan yang tidak menerapkan good governance. Korupsi sangat erat terkait dengan dua faktor penyebab kemiskinan yang disebutkan terakhir, dan kesimpulan ini sejalan dengan berbagai riset yang menyatakan bahwa korupsi menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Keempat, munculnya berbagai NGO anti-korupsi di dunia, terutama pada periode 1990-an. Institusi seperti, Transparency International dan lain-lain mengeluarkan berbagai peringkat dan skor persepsi korupsi serta integrity index di berbagai negara di seluruh dunia.[14] Hal ini memungkinkan kita untuk membandingkan secara apple to apple tingkat korupsi di berbagai negara. Terlepas dari berbagai kelemahan sistem pengukuran yang ada, ranking dan skor yang dipublikasikan telah berhasil menggugah berbagai negara untuk meningkatkan upaya pencegahan dan perang melawan korupsi. Mereka ingin “naik kasta” menjadi negara bersih. Hal ini ditujukan untuk menarik investor asing dan untuk menaikkan gengsi pemerintah. Mengingat mayoritas ranking dan skor tersebut merupakan index persepsi, beberapa negara lebih fokus pada kegiatan pembangunan —citra dari pada pemberantasan korupsi yang sesungguhnya karena  dinilai lebih efektif dalam memperbaiki skor mereka.
Kelima, runtuhnya ekonomi negara-negara Asia pada ekonomi krisis 1997. Para corruption apologist sering menggunakan solidnya kinerja ekonomi “Macan Asia” (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura), Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina – negara dengan tingkat korupsi yang tinggi tetapi mempunyai kinerja ekonomi yang menakjubkan – sebagai justifikasi pandangan mereka. Krisis ekonomi tahun 1997  telah meruntuhkan perekonomian negara-negara tersebut, korupsi yang akut makin memperparah keadaan serta mempersulit proses kebangkitan mereka. Hal ini memutar balikkan pandangan para corruption apologist. Korupsi bukanlah pelumas bagi mesin ekonomi, tetapi sebaliknya merupakan pasir (sand in the economic engine) yang menghambat mesin ekonomi bekerja dengan baik, akibat inefisiensi serta kesalahan alokasi sumberdaya yang ditimbulkannya.[15] Kalaupun  tumbuh, pertumbuhan tersebut tidaklah berkelanjutan.
Saat ini, hampir seluruh kalangan bersepakat tentang apa itu korupsi dan dampak korupsi bagi perekonomian negara. Diskursus tentang korupsi lebih banyak diorientasikan untuk membahas cara-cara penanggulangan korupsi serta upaya mempererat kerjasama internasional karena dalam era modern ini, korupsi sering merupakan aktivitas lintas negara dan benua.

Tipologi Korupsi
Arvind Jain dalam paper berjudul “Corruption: a Review” secara menarik menggambarkan area dimana korupsi sering terjadi di negara demokrasi. Pemetaan interaksi antar aktor politik dan ekonomi membantu memberikan gambaran tentang potensi korupsi.[16] Untuk  menggambarkan kondisi di Indonesia, pandangan tersebut penulis sesuaikan menjadi diagram sebagai berikut:

Interaksi 1
Interaksi 1 melibatkan rakyat dan pemimpin negara yang dipilih melalui proses demokrasi. Dalam interaksi tersebut, terutama di negara demokrasi yang belum mengalami konsolidasi, peluang korupsi politik dalam berbagai bentuk, termasuk politik uang untuk memenangkan pemilu sangat mungkin terjadi. Umumnya, pemimpin terpilih mempunyai diskresi yang luas dalam menentukan kebijakan pemerintah. Diskresi ini membuka kesempatan bagi para pemimpin untuk mengambil kebijakan yang tidak menomorsatukan kepentingan rakyat, dari mana kekuasaan mereka sesungguhnya berasal. Dalam banyak kasus, para elit politik mengeluarkan kebijakan, termasuk kebijakan ekonomi, yang menguntungkan kelompok tertentu. Dalam kebijakan alokasi anggaran misalnya, elit politik bisa saja mengarahkan penggunaan anggaran pemerintah untuk sektor yang sebenarnya kurang bermanfaat bagi rakyat, tetapi dapat membesarkan bisnis para “investor politik” mereka.
Privatisasi adalah contoh klasik dalam kasus ini, dimana kebijakan publik diarahkan untuk  mentransfer kepemilikan asset berharga milik publik kepada privat. Walaupun privatisasi berpotensi untuk menciptakan lingkungan bisnis yang relatif bersih dan kompetitif, tetapi proses privatisasi itu sendiri sangat rawan korupsi.
Interaksi 2
Interaksi 2 terdiri dari tiga bagian, yaitu: (1) Interaksi antara para birokrat dengan pemimpin pilihan rakyat, (2) Interaksi antara birokrat dengan anggota legislatif dan (3) Interaksi antara birokrat dengan rakyat. Interaksi ini membuka peluang terjadinya bureaucratic corruption atau korupsi birokrat.
Dalam berbagai kasus, birokrat atau pejabat publik yang dipilih oleh para pimpinan negara sering diposisikan sebagai kepanjangan tangan mereka untuk “memeras” kekayaan negara melalui berbagai institusi pemerintahan maupun perusahaan milik negara (BUMN). Birokrat terpilih diharuskan menyerahkan setoran rutin kepada para elit politik untuk melanggengkan posisi politik mereka melalui proses demokrasi yang koruptif. Dalam kondisi ini, sangat mungkin korupsi terjadi secara berulang.
Interaksi antara pejabat publik dengan anggota legislatif juga membuka peluang terjadinya korupsi. Di Indonesia, seleksi pejabat tingkat tertentu (misalnya Gubernur BI, Direksi BUMN, Ketua MA, Ketua KPK, Ketua BPK dan lain-lain) harus melalui proses fit and proper test di legislatif. Proses ini memunculkan peluang “jual beli” jabatan yang melibatkan kandidat pejabat publik dan anggota legislatif. Setelah terpilih, legislatif berhak untuk mengadakan dengar pendapat dengan para birokrat terpilih, interaksi ini juga membuka peluang terjadinya korupsi.
Pada dataran yang lain, interaksi antara pejabat publik dengan rakyat merupakan pintu terjadinya korupsi kecil, pejabat publik korup dari berbagai level mengutip uang dari rakyat. Proses ini sangat mungkin terjadi, mengingat kantor pelayanan publik (Kantor pelayanan KTP, IMB, SIM, ijin usaha, dll) umumnya memonopoli pelayanan publik, padahal monopoli merupakan pintu utama terjadinya korupsi.[1] Dalam banyak kasus, korupsi kecil terjadi secara integratif, melibatkan karyawan level bawah hingga level atas. Karyawan level bawah diharuskan menyetorkan pendapatannya kepada atasan, sebaliknya atasan memberikan perlindungan kepada bawahan.
Interaksi 3
Interaksi 3 melibatkan pemimpin terpilih dan anggota legislatif. Berbagai kebijakan publik memerlukan persetujuan dari legislatif, interaksi ini membuka peluang terjadinya korupsi legislatif (legislative corruption) baik berupa suap kepada atau pemerasan oleh anggota legislatif. Korupsi legislatif relatif mudah terjadi pada negara dengan sistem demokrasi yang belum terkonsolidasi, dimana pembiayaan kampanye politik belum diatur dan diawasi dengan baik. Sistem voting tertutup di lembaga legislatif, seperti yang terjadi di Indonesia, turut memperparah kondisi karena konstituen tidak bisa mengawasi apakah para wakil yang mereka pilih benar-benar mewakili kepentingan mereka. Hal ini merupakan awal munculnya problem akuntabilitas yang akut.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap fenomena korupsi legislatif adalah tidak adanya kelompok oposisi yang kuat. Kelompok kepentingan tertentu (interest group) mempunyai peluang  besar untuk dapat memuluskan ide mereka melalui lobi dengan biaya yang jauh lebih rendah, karena mereka cukup menyogok satu kelompok saja. Di lain pihak, ketiadaan oposisi yang kuat juga menurunkan resiko atas tindakan korupsi para anggota legislatif dan kelompok kepentingan tertentu, akibat tidak adanya pihak oposisi yang berpotensi membongkar penyimpangan yang terjadi.
Interaksi 4
Interaksi 4 melibatkan rakyat dan anggota legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum. Demokrasi prosedural relatif lebih mudah diwujudkan, tetapi mewujudkan demokrasi substansial bukanlah perkara mudah. Sebagai contoh, India telah memiliki demokrasi tanpa henti sejak tahun 1950 (tiga tahun setelah merdeka dari Inggris pada tahun 1947), tetapi hingga saat ini demokrasi masih belum merealisasikan janjinya yaitu kemakmuran yang adil bagi seluruh rakyat. Salah satu prakondisi bagi terwujudnya demokrasi substantif adalah pengaturan politik uang dan pendanaan kampanye yang baik.
Di negara dimana politik uang merupakan fenomena biasa, seringkali politisi menyuap rakyat agar mereka terpilih dalam pemilu, sehingga keterpilihan mereka tidak ditentukan oleh kinerja tetapi oleh kemampuan finansial mereka. Tentu saja dari para “investor politik”, dari mana uang tersebut bersumber, mengharapkan “pengembalian investasi” berupa kebijakan yang menguntungkan mereka.
Grand Corruption & Petty Corruption
Terdapat ratusan, bahkan ribuan jenis tindakan yang bisa kita kategorikan sebagai korupsi. Tindakan-tindakan tersebut dapat kita kelompokan dalam dua kategori besar yaitu grand corruption atau korupsi besar dan petty corruption atau korupsi kecil. Tidak ada landasan teori yang pasti sebagai dasar penggolongan tersebut, tetapi prinsip yang dapat dijadikan acuan adalah besaran dana, modus operandi serta level pejabat publik yang terlibat di dalamnya.

  1. a.      Grand Corruption
Grand corruption atau korupsi besar adalah korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi. Korupsi disebut juga corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan, karena para pelaku umumnya sudah berkecukupan secara materiil.
Korupsi besar menyebabkan kerugian negara yang sangat besar  secara finansial maupun  non-finansial. Modus operandi yang umum terjadi adalah kolusi antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan para pengambil kebijakan publik. Melalui pengaruh yang dimiliki, kelompok kepentingan tertentu mempengaruhi pengambil kebijakan guna mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. Apabila pengaruh kelompok tersebut begitu besar dan seolah dapat mengontrol proses perumusan kebijakan publik, fenomena ini sering disebut dengan state capture atau elit capture.
State caputer dapat terjadi dalam berbagai bentuk, World Bank – dalam bukunya Anti-Corruption in Transition 2, menjabarkan beberapa bentuk state capture yaitu: (1) suap kepada anggota DPR untuk mempengaruhi perundangan, (2) suap kepada pejabat negara untuk mempengaruhi kebijakan publik, (3) suap kepada lembaga peradilan untuk mempengaruhi keputusan terkait dengan kasus-kasus besar, (4) suap kepada pejabat bank sentral untuk mempengaruhi kebijakan moneter, dan (5) sumbangan kampanye ilegal untuk partai politik.[2]
Kerugian terbesar bagi negara dan rakyat tidak saja diakibatkan oleh besarnya nilai uang yang hilang, tetapi juga bergesernya orientasi kebijakan publik dari untuk kepentingan rakyat menjadi  untuk kepentingan segelintir individu. Dalam jangka menengah dan panjang, grand corruption akan melahirkan problem struktural yang sulit untuk ditata ulang, seperti struktur ekonomi yang tidak efisien serta struktur politik yang koruptif. State capture akan menjadikan demokrasi sebagai quasai sistem kerajaan, dimana tidak ada pembedaan yang jelas antara kekayaan/kepentingan para elit politik dan kekayaan/kepentingan negara.[3] Ketika ini terjadi, sangat kecil peluang bagi suatu bangsa untuk meluruskannya. Sebagai contoh, Indonesia memerlukan krisis ekonomi dan guncangan sosial politik yang dahsyat pada tahun 1998, untuk bisa menggeser struktur ekonomi dan politik ke arah yang benar.
Contoh klasik korupsi besar adalah privatisasi asset negara secara tidak transparan dan fair, pemberian konsesi eksploitasi tambang dan kekayaan alam lainnya kepada kelompok tertentu, proses tender proyek skala besar yang tidak transparan, keringanan pajak dan biaya masuk untuk sector dan kelompok tertentu, dan bailout secara pilih kasih kepada perusahaan tertentu agar lolos dari jebakan krisis ekonomi.

  1. Petty corruption
Petty corruption atau korupsi kecil, sering disebut survival corruption atau corruption by need, adalah korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintah guna mendukung kebutuhan hidup sehari-hari, akibat pendapatan yang tidak memadai.[4] Korupsi kecil merupakan fenomena yang terjadi di banyak negara yang gagal menyusun dan mengimplementasikan kebijakan publik yang menyejahterakan rakyat. Tentunya, kita sepakat bahwa korupsi dengan alasan apapun merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan, tetapi penulis memandang kesalahan mendasar penyebab maraknya korupsi kecil di dalam birokrasi adalah belum dilaksanakannya reformasi birokrasi yang mampu menerapkan merit system yang menyejahterakan para pegawai pemerintah.
Pemberantasan korupsi kecil sama strategisnya dengan pemberantasan grand corruption mengingat: pertama, kendati nilai kerugian per-kejadian relatif kecil, tetapi dikarenakan jumlah kejadian yang masif, total kerugian yang diderita oleh negara dan masyarakat akibat korupsi ini sangat besar. Kedua, korupsi kecil menyangkut sisi kehidupan sehari-hari masyarakat. Apabila tidak segera ditanggulangi, masyarakat akan menganggap korupsi sebagai bagian dari keseharian mereka yang akan menciptakan masyarakat yang permisif dan toleran terhadap korupsi. Apabila ini terjadi, upaya untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam memberantas korupsi akan semakin sulit dilaksanakan. Ketiga, korupsi kecil menyemai korupsi besar. Pejabat tingkat bawah, yang terlibat korupsi kecil, dengan berjalannya waktu akan menjadi pejabat tinggi dengan diskresi kekuasan yang besar. Ada kecenderungan seseorang untuk mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya sepanjang ada kesempatan, sehingga meningkatkan potensi terjadinya korupsi besar; Hal ini relevan dengan tulisan Rimawan Pradiptyo di bagian lain dari buku ini yang menjabarkan kecenderungan seorang pelaku kejahatan untuk mengulang bahkan melipatkan ukuran kejahatan di masa mendatang.
Salah satu pertanyaan pertanyaan penting di sini adalah apakah benar menaikan gaji pegawai bisa menekan tingkat korupsi dan apakah gaji pegawai negeri saat ini terlalu rendah. Dalam penelitian Treisman dan Evans ditunjukkan bahwa tidak ada indikasi  kuat bahwa gaji yang lebih tinggi akan menurunkan tingkat korupsi.[5] Beberapa survei termasuk yang dilakukan oleh Sakernas membuktikan bahwa sebenarnya pegawai negeri menerima pendapatan relatif lebih tinggi dari pegawai swasta, apabila memasukan komponen tunjangan di luar gaji pokok. Dalam kata lain, gaji pegawai negeri per-unit kontribusi yang mereka lakukan sebenarnya sudah relatif kompetitif.
Pada abad ke-18, Swedia, salah satu negara dengan tingkat korupsi paling rendah di dunia saat ini, merupakan negara yang paling korup di Eropa, upaya menaikan gaji pegawai pemerintah dikombinasikan dengan deregulasi di sektor kepegawaian telah melahirkan pegawai-pegawai pemerintah yang jujur dan kompeten.[6] Pengalaman Swedia menunjukkan bahwa bahwa kenaikan gaji saja tidaklah cukup, upaya menekan korupsi kecil hendaknya dilakukan melalui reformasi birokrasi yang menyeluruh. Pada bagian lain dari buku ini, Vishnu Juwono mengupas secara komprehensif dan sistematis isu reformasi birokrasi ini.

Mengapa Korupsi Sulit Diberantas?
Meski upaya pemberantasan korupsi  gencar dilaksanakan, tetapi kondisi tidak kunjung membaik. Korupsi merupakan isu multidimensional yang mempunyai komponen politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang sering melibatkan para pemegang kekuasaan, sehingga memberantas korupsi bukanlah perkara mudah.
Sejarah mencatat begitu banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat karena mengangkat isu pemberantasan korupsi sebagai tema sentral kampanye mereka. Tetapi paradoks terjadi, terlepas apakah mereka benar-benar anti-korupsi dan pada awalnya berupaya keras untuk memberantas korupsi, ataukah mereka sekedar menggunakan isu korupsi untuk meraih simpati masa saja, banyak di antara mereka yang jatuh akibat kasus korupsi. Di Indonesia misalnya, pada awal kepemimpinan Presiden Soeharto berupaya secara serius memberantas korupsi melalui pembentukan berbagai lembaga, tetapi upaya yang bersifat formalistis tersebut gagal dan bahkan isu korupsi ikut menjatuhkannya pada tahun 1998. Di Filipina, Presiden Estrada terpilih melalui pemilu yang bebas dan terbuka pada tahun 1998 dengan mengusung isu pemberantasan korupsi. Pada tahun 2001, Estrada kehilangan kekuasaan dan bahkan dihukum karena keterlibatannya dalam berbagai kasus korupsi. PM Benazir Bhuto dari Pakistan, Presiden Olusegun Obasanjo dari Nigeria, adalah sebagian kecil dari deretan panjang pemimpin dunia yang bernasib sama. Michael Natch menyebutkan bahwa tingginya korupsi merupakan sebuah parameter yang valid untuk memprediksi tumbangnya suatu pemerintahan.[7]
Korupsi merupakan kejahatan yang sulit diungkap, karena korupsi melibatkan dua pihak yaitu koruptor dan klien yang sering keduanya berupaya untuk menyembunyikan kejadian tersebut, mengingat manfaat besar korupsi bagi mereka dan/atau risiko hukum atau sosial apabila tindakan mereka terungkap. Dalam kasus korupsi dimana klien dan pejabat korup yang sama-sama menikmati manfaat, mereka akan menutupi asi mereka agar kepentingan mereka tetap terlindungi. Swmentara dalam kasus korupsi dimana salah satu pihak merupakan korban, si korban cenderung tidak melaporkan kejadian mengingat, dalam banyak kasus, korban dapat dipersalahkan ketika membongkar kasus korupsi dengan berbagai alasan termasuk alasan pencemaran nama baik. Busyro Muqoddas di bagian lain dari buku ini mengungkapkan contoh kasus yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini.
Sama halnya dengan kasus penggunaan obat terlarang ataupun perkosaan, kasus korupsi ditutupi oleh pihak yang terlibat, termasuk oleh korban, sehingga data yang terekspose kemungkinan hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi. Dengan kata lain, kasus korupsi seperti gunung es dimana sebagian besar kejadian tidak muncul di permukaan.
Pelaporan oleh pihak yang dirugikan oleh kasus korupsi merupakan ujung dari mata rantai pemberantasan korupsi. Sayangnya, para pelapor yang biasa disebut dengan wistleblower  merupakan makluk langka yang jarang ditemui. Satu faktor di antaranya adalah kurang memadainya perlindungan terhadap pelapor. Walaupun Indonesia sudah memiliki wistleblower rule, tetapi dalam taraf implemetasi, kebijakan tersebut masih mengandung banyak kelemahan. Mas Ahmad Daniri mengulas secara lebih detail permasalahan Whitleblower dalam bagian lain dari buku ini.
Korupsi terjadi apabila tiga hal terpenuhi yaitu: (1) adanya benefit atau rent yang bisa dibagikan[8], (2) adanya pejabat publik yang  memiliki kekuasaan, yang mau memfasilitasi proses korupsi – dalam hal ini memberikan akses kepada pihak tertentu terhadap benefit tersebut, dan (3) adanya pihak tertentu yang mau melakukan upaya penyogokan.
Poin kedua di atas, menggambarkan bahwa kasus korupsi sering melibatkan pejabat publik atau elit politik yang mempunyai kekuasaan. Mereka tentunya tidak akan tinggal diam dan berupaya mempengaruhi proses penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi. Kemungkinan yang sering terjadi adalah para koruptor, secara terorganisasi maupun tidak, bekerjasama melawan upaya pemberantasan korupsi; atau sering disebut dengan “corruption fight back” atau serangan balik korupsi. Serangan ini sering mengakibatkan jatuhnya tokoh sentral dibelakang pemberantasan korupsi.
Nuhu Ribadu adalah salah satu contoh. Pejuang anti-korupsi dan mantan ketua the Economic and Financial Crimes Commission of Nigeria (KPK-nya Nigeria), merupakan satu diantaranya “korban” corruption fight back.[9] Nuhu mengungkapkan kepada penulis bahwa pada tahun 2007 jabatannya dicabut akibat dirinya membongkar kasus korupsi salah seorang gubernur di Nigeria dan dirinya juga secara serius mulai mengungkap kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh di sekitar presiden Nigeria. Hingga saat ini Nuhu tinggal di pengasingan, di luar negeri. Kejadian ini sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia jauh lebih maju dalam pemberantasan korupsi dibandingkan dengan Nigeria dan banyak negara lain. Di Indonesia, beberapa gubernur, gubernur bank sentral, anggota legislatif pusat/daerah, menteri dan bahkan besan presiden yang sedang berkuasapun dijatuhi hukuman akibat kasus korupsi.[10]
Negara Bebas Korupsi Sebuah Utopia?
Mewujudkan negara bebas korupsi merupakan slogan yang sering diusung oleh berbagai lembaga anti-korupsi. Bahkan kebanyakan institusi tersebut mencantumkan “Negara bebas korupsi” atau kalimat sejenis sebagai bagian dari visi, misi atau tujuan organisasi mereka. Apakah mungkin kita mewujudkan suatu negara bebas korupsi? Di Denmark dan Finlandia, negara yang pernah mendapatkan skor sempurna atau 10 pada Corruption Perception Index (CPI) tahun 1998, 1999 dan 2000, pun korupsi masih saja terjadi walaupun tidak kasat mata. Fakta tersebut menunjukkan bahwa korupsi bisa ditekan, tetapi tidak bisa diberantas habis.
Sama dengan virus influenza yang mempunyai puluhan ribu strain/jenis yang terus berkembang dalam hal jumlah, korupsi juga memiliki ribuan modus yang terus bertambah seiring dengan perkembangan jaman. Walaupun virus influenza sebenarnya relatif mudah untuk dicegah, tetapi jumlah strain yang begitu banyak membuat upaya pemberantasan menjadi mahal dan tidak praktis. Sebagai gambaran, satu vaksin umumnya hanya bisa menahan satu atau beberapa strain virus saja, sehingga untuk bisa benar-benar kebal terhadap influenza, seseorang harus menerima ribuan injeksi vaksin; selain mahal, injeksi ribuan vaksin tersebut dapat membahayakan jiwa si pasien.
Korupsi tidak berbeda dengan virus influenza. Korupsi mempunyai berbagai modus dan jenis dengan modus operandi yang berkembang seiring dengan kemajuan jaman. Menekan korupsi hingga tingkat nol jelas tidak mungkin, mengingat biaya yang sangat mahal, baik biaya finansial maupun non-finansial. Untuk mencapai tingkat korupsi nol, barangkali setiap ruang harus dilengkapi dengan kamera, setiap pembicaraan lewat telepon dan internet harus disadap, dan setiap rumah harus diawasi oleh agen rahasia. Hal ini, selain mahal juga dapat menghilangkan kebebasan individu, sesuatu yang tidak ternilai harganya.
Korupsi tidak bisa ditekan ke level nol, tetapi dapat digiring menuju ke level optimal. Secara teori upaya pemberantasan korupsi akan terus dilakukan hingga kerugian yang ditanggung masyarakat akibat per-unit korupsi sama dengan biaya memberantas per-unit korupsi. [11] Ketika titik keseimbangan tersebut terjadi, pemberantasan korupsi umumnya dihentikan, meninggalkan jumlah korupsi pada level optimum tertentu. Jumlah titik optimal antar negara bervareasi. Hal ini dapat kita analogikan dengan seorang pengusaha akan memproduksi barang terus menerus hingga marginal cost[12] sama dengan marginal benefit[13]. Secara lebih detail, konsep ini diulas dengan pendekatan ekonomi yang lugas oleh Ari Perdana, pada bagian lain buku ini.
Bagaimana operasionalisasi dari konsep di atas? Strategi pemberantasan korupsi dalam prakteknya dimulai dari korupsi-korupsi yang kasat mata dan mudah diberantas. Dalam kata lain, pemberantasan difokuskan pada low hanging fruit dengan biaya murah, relatif mudah dan kerugian akibat korupsi relatif tinggi.[14] Sejalan dengan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi, low hanging fruit akan semakin sulit didapatkan sehingga yang tertinggal adalah high hanging fruit, yang relatif sulit untuk diberantas atau dalam terminologi ekonomi disebut mempunyai marginal cost yang tinggi. Sebagian kalangan mengacaukan fenomena low hanging fruit ini dengan fenomena tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Dalam kata lain, memberantas korupsi di tahap awal akan relatif mudah dengan hasil yang lebih terlihat, searah dengan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi, kita akan dihadapkan pada korupsi dengan tingkat kesulitan pemberantasan yang lebih tinggi dan dengan biaya yang besar. Hal ini merupakan alasan mengapa di negara “bersih” seperti negara-negara di Skandinavia, korupsi tetap saja terjadi. Masyarakat tidak terlalu mempedulikan upaya pemberantasan korupsi saat jumlah korupsi optimal tercapai, mengingat kerugian yang ditanggung lebih rendah dari biaya yang harus dikeluarkan untuk memberantasnya.
Model Analisa Korupsi
Semenjak korupsi bergeser dari isu pinggiran menjadi isu sentral dalam banyak diskurusu, berbagai konsep pemodelan korupsi bermunculan. Pemodelan yang tepat akan membantu kita, tidak hanya dalam memahami proses terjadinya korupsi, juga membantu dalam upaya menekan tingkat korupsi.
Secara prinsip menekan tingkat korupsi dapat dilakukan dengan menurunkan (menaikkan) faktor-faktor yang mendorong (menghambat) terjadinya korupsi. Model merupakan simplifikasi dari fenomena yang sesungguhnya. Kasus korupsi riil pastilah jauh lebih kompleks, sehingga diperlukan proses adaptasi sebelum model diterapkan dalam dunia nyata. Hal lain, model bersifat unik sehingga belum tentu model yang tepat untuk suatu kasus korupsi dapat diimplementasikan dalam kasus yang sama dilingkungan yang berbeda.

  1. a.      Willingness and opportunity (keinginan dan kesempatan)
Korupsi hanya akan terjadi jika dua hal terjadi secara bersamaan, yaitu adanya keinginan untuk korup (willingness to corrupt) faktor yang sifatnya internal tetapi bisa dipengaruhi oleh hal-hal eksternal dan kesempatan untuk korupsi (opportunity to corrupt) faktor yang sifatnya eksternal.
Manusia adalah makhluk ekonomi yang selalu berupaya memaksimalkan manfaat atas setiap aktivitas dengan biaya seminimal mungkin. Ekonom menyebut fenomena ini sebagai utility maximization, dalam banyak kasus prinsip ini sulit dibedakan dengan fenomena selfish atau mengutamakan diri-sendiri. Selfish merupakan awal munculnya sifat greed atau serakah, akar dari mentalitas korup. Dalam kata lain, dalam diri manusia sesungguhnya sudah ada benih atau kecenderungan untuk melakukan tindakan korup. Dalam bagian lain dari buku ini, Aan Rukmana dan M. Subhi Ibrahim mengupas aspek moral dan religious terkait dengan korupsi.
Keinginan untuk korup merupakan refleksi dari kualitas moral masing-masing individu. Manusia bukanlah malaikat yang mempunyai moralitas tinggi yang stabil. Manusia jujur pun bisa saja berbuat tidak jujur karena keterpaksaan. Dari sisi reliabilitas, upaya pemberantasan korupsi yang menitikberatkan pada pembangunan moral saja tidaklah reliable.
Selain berfluktuasi, kualitas moral seseorang dapat berubah secara drastis seiring dengan berjalannya waktu. Banyak koruptor yang ketika masih muda atau pada periode awal kepemimpinannya adalah individu yang mempunyai integritas tinggi. Seperti diulas di awal tulisan ini, banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat secara demokratis karena mengangkat isu pemberantasan korupsi, tetapi jatuh akibat kasus korupsi.
Opportunity merupakan faktor kedua yang memungkinkan korupsi terjadi. Upaya menekan kesempatan terjadinya korupsi bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem, misalnya dengan menerapkan sistem yang lebih akuntable. Proses tender terbuka terkait dengan pemesanan barang atau penentuan kontraktor merupakan contoh klasik upaya tersebut. Contoh lain adalah menerapkan sistem pemungutan suara terbuka di legislatif sehingga konstituen dapat melakukan pengawasan terhadap para wakilnya dengan lebih baik.
Walaupun sistem memegang peran penting terutama karena sifatnya yang lebih reliable, akan tetapi tanpa dukungan individu yang bermoral tentunya hal ini akan sia-sia. Sebagus apapun sistem yang dibangun, pihak-pihak yang bermoral korup selalu saja dapat berkolusi untuk mengakali sistem yang sudah dibangun. The man behind the gun memegang peran kunci. Di tangan polisi pistol bisa menekan tingkat kejahatan, tetapi di tangan penjahat pistol akan menimbulkan petaka.
  1. b.      Model CDMA/V
Model untuk menganalisa korupsi yang dianggap paling klasik dan populer adalah model CDMA, yang sering dibahas oleh para pakar anti-korupsi, salah satunya Robert E. Klitgard. Menurut model ini, korupsi (C) merupakan fenomena yang dipengaruhi oleh tingkat diskresi (D), monopoli (M) dan akuntabilitas (A). Karena korupsi mempunyai makna yang beragam di berbagai kebudayaan, faktor etika memegang peranan penting. Berbagai riset terkait dengan Corruption Perception Index (CPI) menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya menjelaskan 75 persen dari variasi yang ada dalam CPI tersebut.[15]
Corruption = f {(Discretionary + Monopoly – Accountability)/Values}[16]
b.1. Discretionary (diskresi)
Discretionary (diskresi) merupakan keluasan kewenangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin untuk mengambil keputusan. Semakin tinggi posisi seorang pemimpin semakin tinggi pula diskresi yang dimilikinya, dalam pengertian semakin banyak keputusan yang harus dia ambil yang didasarkan pada kreativitas, justifikasi, dan pemahaman si pimpinan; semakin besar diskresi semakin tinggi potensi terjadinya korupsi.
Kepemimpinan otoriter merupakan contoh kasus diskresi mutlak, di mana semua perundangan dan birokrasi tunduk kepada keinginan pemimpin, akibatnya korupsi merupakan fenomena yang hampir pasti kita temui. Hal ini diakibatkan oleh kaburnya batas antara kepentingan individu pemimpin dan kepentingan negara, yang pada gilirannya akan mengaburkan batas antara kekayaan individu pemimpin dengan kekayaan negara.
Upaya mengurangi dikresi dapat dilaksanakan dengan mengeluarkan job description yang jelas kepada pejabat publik atau staf lainnya, diikuti dengan proses approval yang sitematis sebelum keputusan diambil serta diakhiri dengan proses monitoring dan evaluasi.
b.2. Monopoly (monopoli)
Monopoli atas produk atau jasa akan meningkatkan posisi tawar pemegang monopoli di hadapan para klien atau konsumen. Dalam bidang ekonomi, pemegang monopoli (produsen) dapat memanfaatkan posisi tawar tersebut untuk memaksimalkan keuntungan, misalnya dengan menaikkan harga guna jual produk. Dalam pasar yang monopolistis konsumen tidak mempunyai pilihan lain, sehingga kenaikan harga tersebut tidak terlalu berkorelasi dengan volume penjualan barang dan jasa.
Menggunakan logika berpikir yang sama, dalam pelayanan publik seperti pengurusan KTP, SIM, IMB, dan ijin usaha, di mana institusi pemerintah memegang monopoli, pegawai pemerintah dapat dengan mudah menyalahgunakan wewenang yang mereka miliki. Penyalahgunaan yang mereka lakukan dapat berupa mengurangi jumlah, mengurangi kualitas atau bahkan tidak memberikan layanan saya sekali. Singkatnya, pelayanan hanya akan diberikan bagi mereka yang memberikan uang pelicin, atau kualitas dan kecepatan layanan dipengaruhi oleh nilai suap yang diterima; hal ini merupakan tindakan korup.
Salah satu upaya untuk menekan korupsi adalah dengan mentransformasi monopoli menjadi kompetisi. Dalam kasus kantor pelayanan publik misalnya, solusi yang mungkin adalah dengan menyediakan beberapa kantor pelayanan publik, sehingga publik mempunyai pilihan. Pada gilirannya, hal ini akan menurunkan posisi tawar pegawai pemerintah dimata publik yang akan menurunkan tingkat korupsi.
b.3. Accountability (akuntabilitas)
Makna akuntabilitas umumnya terkait dengan pemberian hadiah. Boven memaknai akuntabilitas sebagai kewajiban untuk menjelaskan dan menjustifikasi suatu perbuatan atau keputusan yang diakibatkan oleh diskresi yang dimiliki oleh seorang individu.[17] Akuntabilitas adalah fungsi diskresi, artinya birokrat harus diberikan diskresi terlebih dahulu baru kemudian dituntut untuk akuntabel terhadap bagaimana mereka menggunakan diskresi yang dimilikinya.[18] Masih menurut Boven, pejabat harus akuntabel dihadapan publik. Untuk meningkatkan akuntabilitas tersebut, paling tidak tiga hal berikut terkait dengan interaksi antara pejabat dengan publik harus terpenuhi: Pertama, pejabat berkewajiban untuk melaporkan berbagai aktivitasnya kepada publik; kedua, publik (melalui perwakilannya) mempunyai hak untuk menanyakan lebih lanjut apabila terdapat data atau informasi yang belum cukup; ketiga, publik – melalui wakilnya, mempunyai kekuasaan untuk menilai laporan tersebut, meliputi menerima atau menolak laporan, mengkritisi kebijakan, dan secara terbuka mengkritisi pejabat bersangkutan.
Variabel yang mempengaruhi sukses tidaknya penerapan akuntabilitas di antaranya: (1) Transparansi, yaitu keterbukaan bagi publik untuk menyelidiki, mengkritisi dan menganalisis kebijakan publik; (2) akses, yaitu adanya akses bagi publik terhadap informasi yang relevan, kapanpun, di manapun oleh siapapun dengan biaya yang sangat rendah; (3) responsiveness, yaitu kecepatan dalam melakukan follow up atas kritik, masukan dan pendapat dari publik; (4) kontrol, yaitu berfungsinya kontrol yang ada dalam masyarakat – media, NGO, dll – terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip akuntabilitas oleh pejabat publik; (5) tanggungjawab, yaitu tanggungjawab pegawai dan pejabat publik untuk bekerja secara professional sesuai dengan standar dan kode etik yang berlaku.[19]
Secara sederhana, formula untuk membangun akuntabilitas adalah:
Akuntabilitas = f{transparansi, akses informasi, responsiveness, kontrol, tanggungjawab}
b.4. Values (nilai-nilai)
Values atau nilai-nilai masyarakat, seperti materialism dan familism, mempengaruhi bagaimana seseorang dalam menyusun prioritas hidupnya, temasuk dalam memandang korupsi. Di Sisilia, Italia Selatan, masyarakat memandang loyalitas terhadap keluarga sebagai sesuatu yang sangat penting. Pandangan ini menyebabkan masyarakat Sisilia akrab dengan favoritism, yaitu mementingkan kelompok tertentu terutama keluarga, yang ini merupakan akar munculnya korupsi.[20] Selanjutnya, Lipset dan Lenz menambahkan bahwa dalam masyarakat yang terlalu mengagungkan kesuksesan materi, tetapi tidak memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh anggota masyarakat terhadap sumberdaya ekonomi, cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi.[21]
Selain itu, nilai-nilai masyarakat yang mendorong self expression cenderung mendorong terciptanya integritas di kalangan para birokrat, dalam kaitan dengan korupsi, integritas pemerintah merupakan faktor kunci dalam menekan tingkat korupsi. Standholz dan Tageepera melakukan survei terhadap tingkat korupsi di negara-negara komunis dan non-komunis, dan menyimpulkan bahwa komunisme mengakibatkan rendahnya self expression di kalangan masyarakat, sehingga tingkat korupsi cenderung tinggi.[22] Pendapat-pendapat tersebut menunjukan bahwa nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat memegang peran penting terhadap bagaimana masyarakat memandang korupsi, serta bagaimana mereka memprioritaskan sukses secara materi dengan keterlibatan dalam upaya memberantas korupsi. Hal ini merupakan justifikasi untuk memasukkan faktor nilai-nilai dalam formula CDMA/V.

  1. c.       Cost and Benefit Analysis (analisa biaya dan manfaat)
Manusia adalah makluk rasional yang selalu mengambil tindakan berdasarkan insentif yang diterimanya. Korupsi merupakan keputusan rasional dan kalkulatif para pelaku. Koruptor memutuskan untuk melakukan korupsi jika insentif untuk korup lebih besar daripada insentif untuk jujur, atau dalam kata lain biaya yang ditanggung atas perbuatan korup lebih rendah dari pada manfaat yang diperoleh atas korupsi yang dilakukan. Sebaliknya, apabila biaya lebih besar daripada manfaat yang diperoleh, koruptor tidak akan melakukan tindakan korupsi. Rimawan Pradiptyo mengulas secara lebih matematis permasalahan ini pada bagian lain dari buku ini.
Singkatnya: Korupsi dilakukan jika net benefit of corruption > 0; korupsi tidak dilakukan jika net benefit of corruption < 0; Net benefit of corruption (nilai manfaat bersih korupsi) yang merupakan selisih antara manfaat dan biaya korupsi dapat diukur dengan rumus pendekatan sebagai berikut:[23]
Net benefit of corruption = f {Manfaat financial, manfaat non financial, hukuman, biaya sosial, kehilangan pekerjaan, kehilangan karir, perasaan tidak tenang atau dosa, penurunan semangat kerja}
Tabel 1: Manfaat dan Biaya Korupsi (perspektif Koruptor)
Biaya Korupsi
Manfaat Korupsi
  • Hukuman penjara kalau tertangkap
  • Malu kalau tertangkap (biaya sosial)
  • Perasaan tidak tenang dan bersalah/dosa
  • Kehilangan pekerjaan, pendapatan & karir apabila tertangkap
  • Mematahkan semangat untuk bekerjakeras dan berkompetisi secara sehat
  • Manfaat finasial berupa pendapatan tambahan dari korupsi.
  • Manfaat Non Financial:
- Pujian & ucapan terima kasih dari klien- Posisi sosial yang tinggi karena dianggap berhasil secara materi- Perasaan solider dengan teman- Membalas hutang budi kepada klien

Upaya pemberantasan korupsi akan efektif apabila berbagai mekanime anti korupsi mampu menekan manfaat korupsi dan pada saat yang bersamaan meningkatkan biaya bagi pelaku.
Meningkatkan biaya korupsi bagi pelaku bisa dilakukan dengan menaikan gaji pegawai, memperberat hukuman bagi para koruptor, baik itu hukuman pidana maupun sangsi lain berupa kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan berkarir dan kehilangan pendapatan. Mempermalukan para koruptor di depan publik merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh koruptor.
Permasalahan muncul manakala korupsi sudah begitu merajalela sehingga publik menganggap korupsi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam kata lain biaya sosial akibat aktivitas korupsi menjadi rendah yang pada gilirannya akan mempersulit upaya pemberantasan korupsi. Tanpa upaya pemberantasan yang sistematis korupsi akan benar-benar menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, yang terjadi kemudian adalah jebakan korupsi (corruption trap) di mana tindakan korup akan menciptakan korupsi yang lain yang akhirnya menurunkan biaya sosial akan men-discourage praktek yang jujur.[24]
Upaya untuk menurunkan manfaat korupsi, misalnya untuk kasus pelayanan publik, bisa dilakukan dengan menurunkan biaya administrasi dan meningkatkan kecepatan pelayanan publik. Peningkatan kualitas dan efisiensi ini akan menurunkan nilai tawar para pejabat korup sehingga menurunkan biaya korupsi. Bahkan, ketika proses pelayanan sudah sangat efisien dan nyaman, insentif untuk terlibat dalam aktifitas korup baik dari sisi pejabat publik maupun masyarakat akan menurun tajam.
Upaya untuk menaikkan biaya dan menurunkan manfaat korupsi bagi koruptor tersebut tidak akan optimal apabila probabilitas terungkapnya kasus korupsi sangat rendah. Rendahnya probabilitas penangkapan dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu: (1) tidak efektifnya mekanisme pengungkapan korupsi, dan (2) rendahnya kapasitas mekanisme penangkapan korupsi. Walaupun mekanisme pengungkapan kasus korupsi telah efektif, tetapi jika tidak ditunjang oleh kapasitas yang besar maka jumlah korupsi baru akan lebih banyak daripada jumlah kasus yang terungkap, sehingga probabilitias pengungkapan kasus korupsi tetap saja rendah. Fenomena KPK dan Tipikor di Indonesia bisa menjelaskan kondisi tersebut di atas. Terlepas dari kemampuan kedua institusi tersebut dalam mengungkap berbagai kasus korupsi, keterbatasan kapasitas membuat begitu banyak kasus korupsi tidak tertangani dengan baik.

  1. d.      Supply and Demand
It takes two to tango adalah ekspresi yang sering diungkapkan untuk menggambarkan bahwa banyak aktifitas hanya bisa dilakukan apabila terdapat dua pihak, sama halnya kalau kita ingin menari tango. Seluruh aktifitas ekonomi juga tidak terlepas dari prinsip tersebut. Aktifitas ekonomi hanya akan berjalan apabila ada supply atau produksi barang dan jasa, dan ada demand yaitu kebutuhan dari para konsumen.
Fenomena korupsi juga dapat dianalisa menggunakan prinsip tersebut. Korupsi identik dengan jasa yang diperjualbelikan antara pembeli dan penjual, hanya saja, korupsi merupakan produk yang merugikan siapapun yang tidak terlibat dalam transaksi; dalam kata lain, korupsi dibangun di atas negative externalities, yaitu kerugian yang harus ditanggung oleh orang lain.
Dalam kasus korupsi birokrasi misalnya, birokrat berperan sebagai supplier (produsen) jasa korupsi, sedangkan klien baik itu individu maupun perusahaan swasta, berperan sebagai buyer (konsumen).[25] Dalam suatu lingkungan tertentu, jumlah supply dan demand korupsi akan berada dititik equilibrium, yang menentukan volume dan harga korupsi yang diperdagangkan. Strategi pemberantasan korupsi yang efektif melibatkan upaya dari sisi supply dan demand, yaitu upaya untuk menekan demand dan supply korupsi.

Supply dan Demand Korupsi
 
Diagram 2 menjelaskan upaya penurunan supply dan demand korupsi dimana akan terlihat penurunan volume korupsi. Pada kondisi awal, sebelum upaya pemberantasan korupsi dilaksanakan, supply korupsi berada sepanjang garis s1, sedangkan demand korupsi berada pada sepanjang garis d1. Kedua garis bertemu di e1, meninggalkan korupsi pada sebanyak q1 dengan harga korupsi sebanyak p1, dengan kerugian langsung sebesar area 0-p1-e1-q1.
Ketika upaya penurunan supply korupsi dilaksanakan, tanpa upaya penurunan demand, garis s1 bergeser ke s2, garis d1 tetap, sehingga menggeser equilibrium (titik keseimbangan) menuju e2* dengan harga korupsi mengalami kenaikan menjadi p2* dan jumlah korupsi menjadi q2. Jumlah korupsi turun tetapi harga korupsi mengalami kenaikan (birokrat menaikkan biaya korupsi akibat risiko korupsi makin tinggi), sehingga kerugian langsung sebesar area 0-p2*-e2*-q2.
Sedangkan ketika upaya penurunan demand korupsi dilaksanakan, tanpa upaya penurunan supply, garis d1 bergeser ke d2, garis s1 tetap, sehingga menggeser equilibrium menuju e2 dengan harga korupsi mengalami penurunan (pengusaha makin takut/enggan menyuap, sehingga demand korupsi turun, birokrat menurunkan harga korupsi untuk menarik perhatian supaya pengusaha tetap terlibat dalam korupsi, dan mereka tidak kehilangan pendapatan tambahan) menjadi p2 dan jumlah korupsi menjadi q2. Kerugian langsung sebesar area 0-p2-e2-q2.
Penurunan supply dan demand korupsi secara sendiri-sendiri akan menurunkan jumlah kerugian langsung akibat korupsi, tetapi tidak menghasilkan penurunan yang siknifikan, hal ini terlihat dari luasan 0-p2*-e2*-q2 dan luasan 0-p2-e2-q2 yang tidak jauh lebih kecil daripada luasan 0-p1-e1-q1.
Upaya yang mengkombinasikan penurunan supply dan demand secara simultan akan mampu menurunkan jumlah korupsi secara siknifikan. garis d1 bergeser ke d2, garis s1 bergeser ke s2, sehingga menggeser equilibrium menuju e3 dengan harga korupsi menjadi p3. dan jumlah korupsi menjadi q3. Kerugian langsung akibat korupsi mencapai 0-p3-e3-q3. Sangat siknifikan dibawah kondisi semula yang digambarkan dengan luasan 0-p1-e1-q1.

Penjelasan dalam box di atas menyimpulkan bahwa penurunan jumlah korupsi hanya akan signifikan jika dilakukan secara bersama-sama dari sisi supply maupun demand.
Beberapa strategi untuk mengurangi supply korupsi di antaranya: menerapkan merit system pada birokrasi; meningkatkan gaji para birokrat; memperketat peraturan dan mengawasi implementasinya; menerapkan kode etik; membuka pusat aduan bagi publik dengan menjaga kerahasiaan pelapor (semacam whistleblower rule); membentuk ombudsman; menerapkan citizen report card; rotasi atau mutasi karyawan secara periodik untuk mencegah terciptanya korupsi sistemik; serta memperberat hukuman bagi birokrat korup.
Sedangkan strategi untuk mengurangi demand korupsi dapat dilakukan dengan cara: menyederhanakan berbagai peraturan terkait dengan pelayanan publik; memberikan penjelasan tentang prosedur pelayanan publik kepada masyarakat; membuka beberapa kantor untuk jenis pelayanan yang sama (mendorong kompetisi); mengurangi interaksi face to face antara publik dan pegawai pemerintah, misalnya melalui pengembangan sistem online di website pemerintah; memperberat hukuman bagi penyuap yang tertangkap; dan mengurangi pembayaran menggunakan kas, diupayakan sebisa mungkin pembayaran melalui transfer, cek atau credit card sehingga alur dana dapat dilacak.

  1. e.       Principal Agent Problem
Principal-agent problem sering disebut sebagai agency dilemma. Principal didefinisikan sebagai pihak yang merupakan pemilik dari suatu institusi (beneficiary holder), sebutlah perusahaan atau institusi pemerintah, sedangkan agent adalah staf yang di tunjuk untuk mengelola dan menjalankan aktifitas. Problem muncul ketika ada perbedaan kepentingan antara principal dan agen, dimana principal bertujuan untuk mengembangkan bisnis atau melaksanakan kegiatan secara efisien, sedangkan agent bertujuan untuk meningkatkan standar hidup dirinya dan keluarganya.
Dalam banyak kasus, tidak semua informasi yang dimiliki oleh agen juga dimiliki oleh principal (inilah yang disebut dengan assimetric information) sehingga sangat memungkinkan bagi agent untuk memanipulasi informasi untuk kepentingan dirinya.
Principal bisa mengurangi asymmetric information dengan menempatkan pengawas, tetapi tentunya strategi ini mempunyai banyak keterbatasan, diantaranya adalah biaya yang mahal. Selain itu, berapa jenis tugas tidak memungkinkan dilaksanakannya pengawasan, terutama tugas-tugas yang melibatkan street level bureaucrat, atau birokrat yang beroperasi di masyarakat[26]; misalnya polisi, agen rahasia, inteligent, pengawas pantai, polisi pengawas hutan dan lain-lain.  Ari Perdana dalam bagian lain dari buku ini mengupas secara komprehensif fenomena agency dillema ini.
Principal Agent Problem
Diagram 3: Diagram Principal-Agent Problem: Pilkada/Money Politic

Contoh kasus terkait dengan Agency Dilemma misalnya adalah distribusi money politic. Seorang kandidat gubernur (Principal 2) memberikan suap kepada konstituen (Klien) untuk memilih dirinya dalam sebuah Pilkada. Dilema yang dia hadapi adalah untuk meyakinkan bahwa dana yang dia siapkan benar-benar jatuh ke tangan Klien. Dalam prakteknya sang kandidat tidak memberikannya langsung, tetapi melalui tim kampanye (Agen 1) yang dia percaya, itupun dilakukan secara diam-diam. Ketika Agen 1 dan Principal 2 mempunyai kepentingan yang sama, yaitu dua-duanya benar-benar menginginkan agar Principal memenangkan Pilkada, maka tidak akan muncul Principal-Agent problem. Tetapi ketika di Agen 1 dan Principal mempunyai perbedaan kepentingan, misalnya Agent 1 memandang kesejahteran dirinya jauh lebih penting daripada kemenangan Principal 2, maka Agen 1 bisa saja menggelapkan sebagian uang tersebut.
Untuk menghindari itu, Principal 2 bisa saja menunjuk mata-mata (Agen 2) untuk melakukan random sampling untuk meyakinkan tidak terjadi penggelapan uang oleh Agent. Problem Principal 2 adalah: Pertama, meyakinkan bahwa Agen 2 tidak berkolusi dengan Agen 1; kedua, melakukan hukuman bagi Agen 1 apabila terbukti melakukan penggelapan. Kesulitan yang dihadapi adalah sifat transaksi yang ilegal sehingga tidak memungkinkan ditempuh jalur hukum.
Kalau cerita dikembangkan lebih lanjut, Principal-Agent Problem sebenarnya juga muncul antara Principal 1 (political investor atau pengusaha yang mempunyai dana) dengan Principal 2, terkait dengan: Pertama, apakah Principal 2 benar-benar menggunakan dana untuk money politic atau untuk dirinya sendiri; kedua, apakah andaikata Principal 2 terpilih sebagai gubernur, dia benar-benar akan memberikan konsesi tambang dan akses ekonomi lainnya kepada dirinya? Salah satu solusi yang bisa diambil adalah dengan merekrut mata-mata (Agen 3) yang mengecek apakah dana dari Principal 1 benar-benar sampai ke tangan Agen 1.
Kalau kita kembangkan lebih lanjut, kasus tersebut akan membentuk semacam jaring yang rumit dan luas, yang menggambarkan betapa banyak pihak yang terlibat dalam Principal-Agent Problem terkait dengan isu Pilkada Gubernur, misalnya kalau kita memasukkan pimpinan partai, pemerintah pusat, pemeimpin informal dan barangkali militer dalam cerita tersebut di atas.
Hal tersebut menunjukkan bahwa berbagai aktifitas korupsi sebenarnya saling terkait satu sama lain. Penyelesaian terhadap satu kasus akan membongkar kasus lain sehingga menyeret semakin banyak pihak didalamnya. Singkatnya, kasus korupsi yang nampak sederhana di permukaan, sebenarnya merupakan kasus yang kompleks yang melibatkan banyak pihak.
Dalam banyak kasus kriminal, ketika Principal-Agent problem muncul, solusi yang dipergunakan biasanya melalui jalan kekekrasan karena upaya hukum jelas tidak mungkin diterapkan. Ini menjadi alasan, kenapa organized crime sangat menjunjung tinggi loyalitas dan mengapa baku tembak antar genk narkoba di Brazil, Nicaragua, Mexico dan lain-lain sering ditempuh sebagai jalan keluar dari suatu masalah.
Pendekatan yang mungkin dilakukan untuk menekan agency problem ini adalah dengan menggunakan empat pendekatan, yaitu: lawyer approach, businessman approach, economist/market approach dan cultural approach, yang akan dibahas dalam sub-bab berikut ini.

Pendekatan dalam Memerangi Korupsi
Saat ini ada banyak teori tentang pendekatan dalam memberantas korupsi, tetapi paling tidak ada empat pendekatan yang paling populer. Untuk memperoleh hasil optimal, masing-masing negara harus memilih pendekatan yang paling tepat. Pendekatan yang diambil, umumnya merupakan kombinasi dari beberapa pendekatan yang dilaksanakan secara bersamaan dengan titik berat yang berbeda. Kondisi kultur, politik dan struktur ekonomi menentukan kombinasi pendekatan yang ideal.

  1. a.      Lawyer Approach (pendekatan pengacara)
Pendekatan ini mengedepankan penyusunan peraturan dan perundangan yang rinci dan jelas yang dilengkapi dengan penegakan yang ketat. Institusi semacam kepolisian dan lembaga pengadilan yang handal merupakan kunci sukses pendekatan ini. Contoh negara yang menonjolkan pendekatan ini adalah Hong Kong dan Singapura, dua negara di Asia yang termasuk dalam daftar negara yang relatif bersih dari korupsi, padahal dua dekade lalu kedua negara termasuk sangat korup.[27] Secara kebetulan kedua negara memiliki kesamaan, yaitu ukuran wilayah dan jumlah penduduk yang kecil, sektor ekonomi utama adalah perdagangan, dan bukan merupakan negara demokrasi.
Kendatipun berhasil diterapkan di Hong Kong dan Singapura, cara yang sama belum tentu  akan sukses diterapkan di negara lain seperti India, Indonesia dan Amerika Serikat. Di negara demokrasi, pendekatan ini bisa  dinilai sebagai kebijakan represif yang berpotensi mengundang protes dari rakyat. Selain itu, menerapkan pendekatan pengacara untuk negara sekompleks India dan Indonesia jelas bukan suatu tantangan yang mudah. Menggunakan terminologi carrot and stick, pendekatan pengacara lebih mengedepankan penggunaan stick, yaitu perangkat hukum untuk menjamin seluruh warga negara mematuhinya.

  1. b.      Businessman Approach (pendekatan pengusaha)
Pendekatan ini mengacu pada prinsip rational choice theory dimana manusia adalah makluk rasional dan melakukan pilihan berdasarkan insentif yang diterimanya, baik insentif yang bersifat finansial maupun non-finansial. Menurut pendekatan ini, kejujuran bisa diciptakan dan setiap individu bisa diubah menjadi individu jujur asal disediakan insentif yang sesuai; dengan memberikan insentif bagi individu yang tidak melakukan korupsi diharapkan korupsi  dapat ditekan.
Menggunakan terminologi carrot and stick, pendekatan ini lebih menekankan pada penggunaan carrot. Permasalahan utama pendekatan ini adalah bagaimana menemukan insentif yang optimal, sehingga dengan nilai insentif tujuan minimal dapat tercapai. Dalam banyak kasus, insentif tidak selalu berbentuk uang, bisa dalam bentuk lainnya, seperti penghargaan, promosi dan lain-lain. Yang menjadi isu utama dari pendekatan ini adalah: (1) bagaimana menentukan insentif yang optimal, sehingga akumulasi insentif yang dikeluarkan jauh lebih rendah dari akumulasi kerugian apabila korupsi terjadi; dan (2) bagaimana mengukur kinerja masing-masing agent sehingga insntif bisa diberikan secara tepat.

  1. c.       Market or economist approach (pendekatan pasar atau ekonom)
Berbeda dengan pendekatan pengusaha dan pendekatan pengacara yang lebih mengedepankan interaksi antara principal sebagai pihak pertama dan pegawai atau agen; serta antara principal dengan klien atau masyarakat sebagai pihak kedua, digambarkan dalam diagram 4 sebagai interaksi (a) dan (b). Pendekatan pasar memanfaatkan dinamika interaksi pihak kedua, yaitu antar sesama agen atau antar sesama klien, digambarkan dalam diagram 4 sebagai interaksi (c). Pada prinsipnya, pendekatan pasar mencoba menciptakan kompetisi antara para agen dan antara klien, sehingga mereka berlomba-lomba untuk memperbaiki kinerjanya.
Salah satu titik krusial yang menentukan sukses tidaknya pendekatan pasar adalah bagaimana menciptakan kompetisi yang sehat antar sesama pegawai pemerintah dan antar sesama klien, karena bisa jadi kompetisi yang terjadi bukanlah kompetisi yang saling menjatuhkan dan justru akan merusak sistem yang ada.

  1. d.      Cultural approach (pendekatan budaya)[28]
Para ilmuwan sosial mendefinisikan kebudayan sebagai warisan sosial yang bersifat mental atau non-fisik, yang meliputi sistem nilai. Menurut Clyde Kluckhon, kebudayaan merupakan sistem ide, pengetahuan, dan acuan bagi manusia untuk menjalani kehidupan. Kebudayaan adalah cara berfikir, cara merasa, cara meyakini, dan cara menganggap. Seiring dengan itu, Parsudi Suparlan mendefinisikan  kebudayaan sebagai pedoman yang berasal dari pengalaman kehidupan masyarakat tertentu yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan akan kebenaran yang secara selektif dimanfaatkan untuk menghadapi lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidup. [29] Will Durant menyatakan bahwa kebudayaan berkaitan dengan kejiwaan dan kerohanian manusia, sementara itu Oswald Spengler mendefinisikan, kebudayaan sebagai apa yang manusia dambakan, yang tercermin dalam kehidupan rohaniah seperti seni, bahasa, sastra, aliran pemikiran dan falsafah, nilai-nilai moral, dan spiritulitas.[30]
Mengacu pada penjelasan di atas, budaya memberikan kerangka berpikir bagi manusia. Sesuatu dapat dipersepsikan salah atau benar tergantung dari sudut pandang (mindset) yang dipergunakan dan sudut pandang sangat dipengaruhi oleh budaya. Sebagai contoh, judi, minuman keras dan bunuh diri bukanlah sesuatu yang harus dihindari dalam budaya beberapa bangsa, tetapi merupakan aib besar bagi budaya bangsa Indonesia. Fenomena tersebut mempertegas peran penting budaya dalam mempengaruhi pola pandang dan respon seseorang terhadap sesuatu.
Terkait dengan pemberantasan korupsi, pendekatan budaya berpotensi untuk mempengaruhi sudut pandang masyarakat. Di satu sisi, walaupun relatif merupakan pendekatan yang efisien dari sisi pendanaan, pendekatan budaya sulit diharapkan dapat memberikan hasil dalam waktu singkat. Akan tetapi apabila pendekatan ini berhasil, maka akan memberikan dampak jangka panjang. Ketika masyarakat menganggap korupsi sebagai aib, mereka akan turut berperan dalam menekan tingkat korupsi. Peran tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai tindakan, dari yang paling sederhana misalnya dengan menghindarkan diri dari upaya menyuap polisi atau pegawai kecamatan, hingga turut membongkar kasus korupsi dengan berperan sebagai whistleblower.  Pendekatan budaya dapat dilaksanakan melalui pendidikan baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Pesan-pesan moral bisa dititipkan dalam berbagai kesenian daerah seperti wayang kulit, ludruk, film, poster dll. Idealnya, pendekatan budaya dimulai sedini mungkin, sehingga peran keluarga dan pendidikan dasar sangat krusial bagi sukses tidaknya pendekatan ini.
Satu titik krusial pendekatan budaya adalah menemukan cara agar upaya pemahaman tersebut tidak dilaksanakan secara formal dan kaku, tetapi melalui pendekatan yang cair dan informal (masyarakat tidak merasa terpaksa) serta dilakukan oleh tokoh-tokoh yang telah teruji. Kegagalan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) yang menggunakan pendekatan formal dan terkadang represif harus dijadikan pelajaran. Penataran tersebut bukannya menciptakan masyarakat yang semakin menjunjung tinggi  dalam mengamalkan Pancasila, tetapi justru membuat Pancasila kurang populer, terutama di kalangan anak muda. Problem lain dari Penataran P4 adalah kurang kredibelnya para tokoh yang dijadikan panutan, di mana mereka pada  satu sisi  mendorong nilai-nilai luhur, tetapi di sisi lain  ikut terlibat dalam berbagai kasus korupsi.
Tabel berikut menggambarkan aplikasi dari keempat pendekatan tersebut dalam menekan tingkat korupsi, dengan mengambil contoh kantor pajak. Target utama adalah untuk menaikkan pendapatan dari pajak, dengan biaya seminimal mungkin.

Tabel 2: Menekan Korupsi di Kantor Pajak dengan menggunakan Kombinasi Pendekatan Pengacara, Pengusaha, Pasar dan Budaya
Pendekatan
Target Pendekatan
Kantor/Petugas Pajak
Publik (Klien)
Lawyer Approach
  • Peraturan yang tegas dan jelas;
  • Penegakan peraturan melalui pengawasan, (misal: pembentukan polisi pajak);
  • Pemecatan bagi petugas yang terbukti melakukan korupsi;
  • Peraturan perpajakan yang jelas dan praktis;
  • Publikasi ketentuan terkait dengan proses pembayaran pajak;
  • Hukuman bagi penggelap pajak
  • Penalti bagi keterlambatan membayar;
  • Keringanan pajak bagi wajib pajak dengan NPWP;
  • Pemutihan pajak bagi pembayaran pajak yang akan membayar tunggakan pajak;
  • Mempermudah proses pembayaran pajak;
Businessman Approach
  • Bonus (finansial & non-finansial) bagi petugas atau kantor yang memenuhi atau melebihi target;
  • Promosi bagi petugas yang berkinerja bagus
  • Keringanan pajak bagi wajib pajak dengan NPWP;
  • Pemutihan pajak bagi pembayar pajak yang akan membayar tunggakan pajak;
  • Mempermudah proses pembayaran pajak;
  •  Keringanan pajak bagi wajib pajak dengan NPWP;
  • Pemutihan pajak bagi pembayaran pajak yang akan membayar tunggakan pajak;
  • Mempermudah proses pembayaran pajak;
Market/economist Approach
  • Pemilihan petugas pajak terbaik;
  • Publikasi skor kinerja para petugas dan kantor pajak;
  • Membuka beberapa kantor pajak untuk untuk area yang sama (mencegah monopoli dan mendorong kompetisi)
  • Pemberian penghargaan kepada pembayar pajak terbesar;
  • Memberi pilihan kepada publik tetang kantor pajak di mana mereka akan melakukan pembayaran pajak (menghindari pemerasan oleh petugas);
  • Pemberian penghargaan kepada pembayar pajak tersebut;
  • Memberi pilihan kepada publik tentang kantor pajak tempat mereka akan melakukan pembayaran pajak (menghindari pemerasan oleh petugas)
Cultural Approach
  • Penyusunan Visi, Misi & Tujuan dengan melibatkan para staf;
  • Training tentang kode etik;
  • Tauladan dari atasan;
  • Iklan di TV & media tentang manfaat membayar pajak bagi masyarakat;
  • Membangun public trust, melalui transparansi pelaporan penerimaan pajak;
  •  Iklan di TV & media tentang manfaat membayar pajak bagi masyarakat;
  • Membangun public trust melalui transparansi pelaporan penerima pajak

Korupsi sebagai Gejala (Symptom) & Penegakan Sistem Integritas
Di tengah gencarnya diskusi yang menganggap korupsi sebagai problem politik dan ekonomi, sebagian kalangan mengangkat isu baru yang menganggap korupsi sebagai symptom atau gejala-gejala, bukan problem itu sendiri. Pandangan ini menganggap problem yang sesungguhnya adalah lemahnya integritas baik itu di sektor publik maupun sektor privat.
Kedua pandangan tersebut sebenarnya tidak berbeda secara substansi, mereka mempunyai tujuan utama yang sama yaitu memberantas korupsi. Kedua pandangan juga sepakat terhadap faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab korupsi dan apa saja akibat yang ditimbulkan. Perbedaan hanya pada cara pandang saja, yang akan berpengaruh pada strategi pemberantasan korupsi.
Menganalogikan dengan sakit flu, korupsi sebenarnya merupakan panas tinggi yang merupakan gejala influenza. Upaya pencegahan dengan memberikan obat penurun panas tentu tidak memecahkan masalah yang sesungguhnya, tetapi hanya menghilangkan gejala untuk sementara saja. Solusi yang terbaik adalah dengan meningkatkan kekebalan tubuh melalui istirahat yang cukup dengan  mengkonsumsi banyak vitamin. Demikian juga dengan korupsi, solusi yang terbaik adalah dengan menegakan integritas di berbagai aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Penegakan integritas bertujuan untuk meningkatkan resiko perilaku korup, yang pada gilirannya akan mengurangi keinginan untuk korup. Mengingat korupsi cenderung menjadi masalah sistemik, pendekatan dilakukan dengan fokus pada perbaikan sistem, bukan dengan menghukum atau menyalahkan pelaku tindak korupsi.[31]
Upaya meningkatkan integritas tersebut sebaiknya difokuskan pada beberapa komponen utama yang merupakan pilar utama integritas nasional. Menurut Global Integrity (www.globalintegrity.org)[32], ada enam pilar utama seperti digambarkan dalam diagram 5 berikut ini:
Diagram 5: Enam Pilar Utama Sistem Integritas Nasional[33]
Sumber: Diolah dari Global Integrity Score Card
Upaya penguatan masing-masing pilar bisa dilakukan dengan memperbaiki dan memperkuat komponen dari pilar bersangkutan.[34]

  1. a.      Masyarakat Madani, Informasi Publik & Media:
Upaya penguatan pilar pertama ini bisa dilakukan dengan mendorong dan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk berkumpul dan berorganisasi melalui berbagai NGO dan organisasi masyarakat lainnya. Walaupun demikian, NGO pun perlu diatur, bukan dalam aspek ide, tetapi dalam aspek administrasi pelaksanaan kegiatan untuk mewujudkan standar operasional dan pelaporan yang tinggi. Hal ini diperlukan untuk menjaga integritas NGO dimata publik dan donor.[35] Publik juga perlu mendapatkan akses terhadap informasi terkait dengan kegiatan dan program pemerintah, termasuk aspek keuangan. Kebebasan press perlu dijamin, dengan memberikan perlindungan bagi insan pers maupun institusi media. NGO dan media, dengan dukungan informasi dari pemerintah, akan berfungsi sebagai pengawas yang efektif bagi pemerintah.

  1. b.      Pemilihan Umum:
Pemilihan umum merupakan komponen penting integritas nasional, karena pemilu merupakan proses seleksi kader terbaik untuk mewakili warganegara dalam proses politik dan kebijakan publik. Pemilu hendaknya memberikan kesempatan bagi seluruh masyarakat untuk memilih dan berpartisipasi secara bebas dalam proses pemilu, yang dilakukan secara periodik. Prosedur pemilu harus transparan dan dikelola oleh pihak independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah atau kelompok tertentu.
Menurut Global Integrity, peraturan serta implementasi yang buruk tentang pendanaan politik merupakan problem governance utama di banyak negara. Problem ini tidak terkait dengan pendapatan per-capita suatu negara, baik negara kaya maupun negara miskin mengalami tantangan yang sama. Hanya bedanya, di negara miskin tantangan lebih kepada aliran dana perusahaan atau pemerintah asing kepada partai politik atau pimpinannya, dengan imbalan konsesi ekonomi yang menguntungkan. Transparansi tentang aliran dana politik merupakan sesuatu yang urgen.[36] Dalam bagian lain dari buku ini, secara komprehensif Bima Arya menulis tentang sulitnya menerapkan transparansi dan akuntabilitas dana politik dan sumbangan kampanye, dan betapa hal ini telah menurunkan kualitas demokrasi.

  1. c.       Akuntabilitas Pemerintah
Boven menjelaskan bahwa akuntabilitas pemerintah merupakan landasan bagi good governance. Awalnya, akuntabilitas merupakan terminologi akuntansi, sekarang makna itu telah meluas.[37] Adalah menjadi tanggung jawab institusi dan pejabat publik untuk menjelaskan bagaimana mereka mengambil keputusan dan melaksanakannya demi kepentingan publik, klien yang sebenarnya merupakan ultimate principal yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Prinsip utama akuntabilitas pemerintah adalah menekan asymmetry information, yang merupakan sumber korupsi. Akuntabilitas pemerintah sangat penting untuk memungkinkan proses demokrasi berjalan dengan baik, karena publik mendapatkan informasi yang cukup tentang kinerja pemerintah untuk mengontrol dan memonitor kinerja mereka, melalui proses demokrasi (pemilu); serta menghindari penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat publik.[38] Tujuan akhir dari akuntabilitas pemerintah adalah untuk memastikan bahwa uang pajak dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal dan efektif untuk kepentingan masyarakat.

  1. d.      Administrasi Birokrasi
Beberapa komponen penting dari administrasi birokrasi di antaranya adalah kualitas peraturan – serta implementasinya, salah satunya adalah whistleblower policy, mengingat whistleblower dalam banyak kasus merupakan awal dari terungkapnya kasus korupsi. Selain itu, sistem dan implementasi procurement yang transparan, fair dan akuntabel memegang peran penting, mengingat procurement merupakan proses dalam pemerintahan yang rawan manipulasi dan korupsi. Peraturan tentang kepegawaian idealnya menerapkan merit system dengan ketentuan yang jelas dan transparan diterapkan di berbagai level dan sektor birokrasi. Terkait dengan privatisasi, ketentuan yang transparan, jelas dan fair memegang peran penting dalam menegakan integritas di bidang administrasi birokrasi, sebab di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, privatisasi nampaknya merupakan fenomena yang akan terus terjadi di masa mendatang.

  1. e.       Pengawasan dan Peraturan
Peraturan memberikan acuan tentang bagaimana sesuatu harus dilakukan. Umumnya berisi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan, serta koridor dan acuan yang memberikan petunjuk tentang bagaimana sesuatu diterapkan. Aturan yang baik adalah aturan yang lengkap dan bisa diterapkan oleh para stakeholder; yang tidak kalah penting, peraturan harus diawasi pelaksanaannya melalui mekanisme kontrol yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari setiap peraturan yang ada. Mekanisme kontrol mendorong kebiasaan yang beretika dengan menciptakan situasi dimana tidakan tidak etis sulit untuk dilaksanakan dan mudah untuk terdeteksi. [39] Terkait dengan monitoring dan pengawasan, ombudsman dan supreme audit merupakan dua institusi yang mempunyai peran penting. Ombudsman menyediakan akses bagi publik untuk melaporkan segala ketidakberesan dan penyimpangan birokrasi yang mereka temui, sedangkan supreme audit (misalnya Badan Pemeriksa Keuangan, BPK) memberiksa laporan keuangan institusi tertentu di bawah pemerintah. Permasalahan menjadi semakin rumit ketika di kedua lembaga tersebut terdapat juga praktek korupsi, sehingga integritas kedua lembaga merupakan prasyarat efektivitas fungsi pengawasan.

  1. f.        Anti Korupsi & Peraturan/Perundangan
Terkait dengan isu korupsi, UU anti-korupsi mempunyai peran penting sebagai landasan bagi upaya pemberantasan korupsi. Undang-undang tersebut hanya akan efektif apabila didukung oleh komisi yang kapabel dalam memberantas korupsi sekaligus memiliki integritas tinggi. Sebaliknya, UU bersangkutan haruslah memberikan kekuasaan yang cukup dan menjamin independensi komisi anti korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia sebenarnya mempunyai kedua persyaratan tersebut. Terlepas dari beberapa kesalahan yang dilakukan oleh beberapa pejabatnya, secara institusi sebenarnya kinerja dan keberadaan KPK merupakan langkah maju bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, apalagi jika isu terkait dengan landasan hukum Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) berhasil dituntaskan.
UU dan komisi pemberantasan korupsi merupakan satu aspek kecil dari penegakan hukum dalam arti luas. Terkait dengan pengembangan integritas nasional, hukum dalam arti luas mempunyai peran yang jauh lebih penting. Tantangan dalam menegakkan hukum di banyak negara yang menerapkan hukum kontinental – termasuk Indonesia, di antaranya adalah hukum yang tidak mampu mengejar perubahan dunia politik dan ekonomi nasional dan internasional. Selain itu, perangkat hukum yang dipertanyakan integriras serta kapabilitasnya merupakan tantangan tersendiri. Di Indonesia, berdasarkan survei Global Corruption Barometer oleh TI, tiga komponen utama terkait dengan penegakan hukum, yaitu legislatif (pembuatan peraturan dan perundang-undangan), kepolisian dan kehakiman (penegakan hukum) dalam beberapa tahun terakhir secara konsisten merupakan tiga institusi yang paling korup di Indonesia.[40] Tentunya integritas ketiga institusi tersebut harus ditegakkan sebelum kita menegakkan integritas nasional karena ketiganya merupakan pilar penting, bahkan termasuk yang terpenting.

Penutup
Korupsi merupakan permasalahan utama banyak bangsa di dunia. Korupsi tidak saja menyebabkan kemiskinan akibat target-target pembangunan yang tidak berhasil dan tujuan pembangunan yang dibelokan untuk kepentingan kelompok tertentu. Korupsi merupakan salah satu jawaban utama mengapa negara-negara di Afrika dan berbagai belahan dunia lainnya mengalami kemunduran disaat bangsa-bangsa dibelahan lain mengalami kemajuan pesat.
Dalam dua puluh tahun terakhir terjadi pergeseran paradigma tentang korupsi di banyak bangsa di dunia.  Bahkan dalam sepuluh tahun terakhir bangsa-bangsa didunia mulai mengeluarkan sejumlah aksi bersama dan terintegrasi dalam melawan korupsi. Hal ini merupakan perkembangan yang sangat menggembirakan mengingat korupsi merupakan permasalahan antar negara dan hanya dengan kerjasama antar negara pula korupsi bisa diberantas. Walaupun demikian, tidak secara otomatis korupsi mampu ditekan, mengingat paradigma yang benar adalah satu bagian kecil saja dari rantai panjang pemberantasan korupsi yang terdiri dari penentuan strategi yang tepat, serta eksekusi yang benar oleh pihak-pihak yang tepat.
Bagi Indonesia, korupsi tidak saja merupakan problem ekonomi dan politik, tetapi juga merupakan problem budaya. Selama puluhan tahun, berbagai lembaga internasional telah menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup. Terlepas dari fakta yang memberikan justifikasi atas fenomena itu, hal ini tentunya telah mengusik kebanggaan kita sebagai bangsa. Hal ini seharusnya menggugah semangat kita untuk memerangi korupsi secara lebih serius.
Beberapa negara telah berhasil menekan tingkat korupsi secara mengagumkan. Tentunya prestasi mereka tersebut merupakan inspirasi bagi bangsa-bangsa lain. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari sukses tersebut termasuk tentang strategi pemberantasan yang mereka terapkan. Kendatipun demikian, korupsi merupakan permasalah yang unik dimana best practice di suatu negara bisa jadi kontarproduktif jika diterapkan di negara lain. Berbagai penyesuaian perlu dilakukan untuk mengoptimalkan startegi pemberantasan korupsi.
Semangat tinggi dan kemauan politik merupakan modal penting melawan korupsi, tetapi tanpa pengetahuan yang komperhensif tentang korupsi dikhawatirkan upaya pemberantasan tidak akan optimal dan negara bersangkutan akan kehabisan resources sebelum korupsi benar-benar diberantas. Inilah mengapa pemberantasan korupsi harus menggunakan metode yang tepat, sehingga para “pejuang anti-korupsi” harus benar-benar MEMAHAMI KORUPSI.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar